Selasa, 29 Maret 2011

Tersenyumlah

Semalam mendapat SMS dari seorang kawan. Kurang lebih berisi seperti ini. "Satu pelajaran dari semut. Seberapa banyak pun kesibukannya meraka(Semut) selalu berhenti dan menyapa sahabat sahabat yang meraka kasihi dan sayangi" dan kelanjutan Pesan singkat itu "satu hal yang ingin ku buat hari ini yaitu berhenti sejenak dari kesibukan dan menyapa teman-teman terbaikku lewat SMS. Jika lau km tak ada waktu untuk membalas Tersenyumlah Itu sudah cukup berarti. ". Saya sangat terperangah ketika mendapat pesan ini. Saya sudah lupa cara menikmati senyum.
Suatu ketika lelaki itu pernah berkata pada suatu malam. "Senyum itu sebagian dari Ibadah" walaupun begitu aku tidak sama sekali langsung percaya. Karena iseng aku terus mengejar statement Lelaki itu. Sampai suatu titik saya baru sadar jika sebenarnya kegilaan ini tidaklah benar. Saya sudah lupa kapan terakhir kali bisa tersenyum lebar, Puas dan lepas.

Tak kusangka detik itu juga saya teringat seseorang yang memiliki senyum sangat manis walau hanya menurutku sendiri. Perempuan berperawakan tegap walau proporsi tubuhnya kurang mantap karena mungkin sedikit kegemukan. Namun senyum itu

Jumat, 25 Maret 2011

Serenada Duka

Untuk : Chypud

Hari ini sudah seperempat abad kakiku menjejak.
sedang kau baru mulai mengeja tentang tanda dan bertitian.

Tapi, aku ini adalah
kapal yang karam tersapu tsunami
terdampar di karang.
Yang bersauh layar menunggu
laut pasang untuk berlayar.

Sudah terlanjur...
Seakan seperti Pasir Hisap.
Semakin melawan tanpa bisa meronta.
Sepertinya hanya bisa tersenyum dan berkalung Duka tanpa Muara
ini terus menjerumus
ketika didiamkan
semakin terperosok ke dalam luka.

Aku kenang Kau dari harum mawar.
Berhibur senyuman yang manis serasa manggis yang berbalut kumis tipis...



4 maret 2011

Jumat, 18 Februari 2011

Quotes of the Day "Ditolak"

Iya. Sepertinya sudah. Kelayapan kali ini akan sedikit membahas kegelisahan Laki-laki.

Saya bersemangat. Seperti itulah saat menulis ini. Saya kalah untuk kesekian kali. bahkan hari ini sudah cukup. Semenjak saya menyapa dia dengan senyum putihnya. Senyum itu selalu bertengger. Hingga kadang lupa jika detik itu juga aku harus mengkristalkan keringat. Senyumnya begitu pipih dan manis seperti manggis. Mungkin juga renyah serupa ... Ah... Tidak... Konyol ini. Apakah saya masih bisa? Itu pertanyaanku.

Namanya
Aprilia Putri (biasa dipanggil Chypud) gak tahu berapa pasti umurnya. Namun ia pernah mengaku lewat pesan yahoo dia berumur 18 tahun. Hehehehe. Seolah kalut. Saya begitu senang dan kadang iseng mengganggu dia ketika kerja. Itulah Naluri Laki-laki kata seorang Kawan, Senior, Sahabat, Kakak.

Pernah suatu ketika kegelisahanku memuncak. Aku harus... Yah... Usut punya usut dia pernah berkata "mantan". Inilah waktunya katataku... Xixixixixi... Dengan lantang saya menuliskakan lewat pesan Yahoo jika Saya lebih memilih dia. Tapi apalah jawabnya. Tidak. :-(( Dalam berbagai kesempatan aku juga terus mencoba kemungkinan-kemungkinan cara untuk membongkar celah hatinya. Tapi apa daya. Dia lebih mengganggap aku kakak daripada menjadi pacar. Dengan lantang saya menulis Quotes of the Day "Ditolak". Saat itu juga aku tertidur. Namun, saya dibangunkan yang 1 tepat subuh. Bagus kataku dan terimakasih.

Ternyata tidak berhasil. Saya laki-laki. Diapun berkata jika akan membuka hatinya. Tapi sudahlah. Saya rasa Dia Lebih Memilih Menutup rapat-rapat hatinya daripada dengan Bromocorah yang tak tahu rimbanya.

Saya sakit.

Berikut Soundtrack untuk dia (klik)

Jumat, 11 Februari 2011

Pengakuan 6

Tentang Ketakutan di subuh

Embun, imajinasiku
tidak pernah selesai tentang-Mu.


Catatanku
tidak pernah menemui ujung
hingga ia mengadu pada-Mu.

Karena kegelisahanku tak akan sepi tanpa Hidup-Mu.

Terus kemana dan aku harus dimana?

Hari Pertama Ramadan 1431

Kelayapan

Sangat ingin menulis keseharian. Walau akhirnya tetap terlambat, Namun Akhirnya Aku mulai.
Semula semacam catatan harian ini akan saya Tulis ketika Masa kuliah. Namun hehehehehe... Baru bisa memunculkan berupa cerita saat ini 11-02-2011. Masih belum jelas konsep apa yang akan saya tawarkan pada tulisan-tulisan berikutnya Blog ini.

Ah...
Lebih baik bercerita tentang yang senang terlebih dahulu. Atau mungkin tentang masa kanak saja mungkin lebih enak...

Perkenalkan Saya Arfan Fathoni, mungkin umur sudah 24 tahun atau 23 tahun. Sepengtahuan ku dari cerita beberapa orang aku lahir di tahun 1986. Namun kenyataannya tertulis jelas pada KTP jika aku terlahir di Ponorogo, 25 Desember 1986. Cukup unik juga. Lahir berbarengan dengan hari yang ditunggu oleh kaum nasrani. Mungkin jika aku terlahir di keluarga Kristen bisa saja Nama ku Natan. Karena Arfan Fathoni nama Islam. :-)

Kejadian bermula ketika keluargaku dipaksa untuk membuatkan AKTA kelahiran. Tepatnya tidak tahu. Ketika itu umurku masih 4 tahun. Ketika presiden waktu itu masih Soeharto. Pemerintah Soeharto mengadakan pembuatan AKTA Kelahiran secara Masal. Tanpa pikir panjang keluargaku yang Tergolong Keluarga apa adanya wajib memberikan saya AKTA dengan mendaftarkan saya.

Tanpa disadari jika terdapat syarat yang cukup mencengangkan dan mengecewakan. Tertulis jelas di papan pengumuman yang bisa mengikuti program ini hanya Anak, Orang dewasa, Tua, Muda dengan batas minimal Tahun 1985.

Menurut cerita eyang SARBI eyang saya. karena mendapat saran dari Pak Carik, Akhirnya keluarga kami dengan terpaksa mendaftarkan saya sesuai sarat yang telah tertera dan menyerahkan semuanya ke Pak Carik(semoga saat ini beliau masih diberi kesehatan).

Dari sini Awal mula kegelisahan. Aku harus bersekolah. Di taman kanak-kanak(TK). Secara umur fisik masih belum cukup. Namun secara Umur yang tertera di AKTA Kelahiran sudah wajib. Alamak.

Namun, Aku pun harus tetap bersekolah. TK Bustanul Atfal Aisyah Wonoketro ialah sekolahku. Aku cukup kecil untuk paham kenapa aku bersekolah di sini. Tak ada yang istimewa selain tembok yang sudah bata yang kokoh.

Aku tergolong sebagai siswa yang bengal. Dalam berbagai kesempatan selalu yang terbelakang. Tak tahu, mungkin aku tidak bisa atau tak tahu aku. Dalam bayanganku, Aku terlalu kecil untuk bersaing dengan kawanku yang galak dan begitu bongsor menurutku...

Tapi ya sudahlah. Sampai disini dulu catatan ini...

Hari ini Tanggal 11-02-2011 tak ada yang istimewa. Selain Magrib kawan karib harus jadi pembicara dan menserviskan Ponsel ibu. :-)
Untuk perempuan masih sepi dan mungkin keadaan ini akan berlangsung lama. Walau dia Lumayan cantik tapi tembem.

Quotes hari ini. Saya ingin membantah kutipan ini.
Kasih ibu sepanjang Jalan, Kasih anak sepanjang Sapu tangan adalah tidak benar.


Selasa, 02 November 2010

Lomba cerpen BWS (Bookfrenz Writing School) dan LOmba cerita FEMINA

Hadiah utama: wisata menulis ke singapore


BWS (Bookfrenz Writing School) kembali menantang Anda mengeksplorasi bakat menulis.
Kali ini dengan tema cerita cinta yang terinspirasi dari kisah nyata.

SYARAT UMUM LOMBA CERPEN:
• Peserta adalah Warga Negara Indonesia, tidak dibatasi umur.
• Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik & benar.
• Naskah harus asli karya sendiri, bukan jiplakan atau terjemahan.
• Tema: cinta yang terinspirasi dari kisah nyata (setting bebas namun setting luar negeri akan lebih disukai).
• Naskah belum pernah dipublikasikan di media massa cetak maupun elektronik & online, dan tidak sedang diikutsertakan lomba lain.
• Peserta boleh mengirimkan maksimum 3 (tiga) naskah terbaiknya.
• Hak untuk menerbitkan dalam bentuk buku dan menyiarkannya di media online ada pada BWS. Redaksi panitia berhak mengganti judul dan menyunting tanpa mengubah isi.
• Naskah yang tidak menang, namun memenuhi syarat, akan dimuat dalam buku kumpulan kisah cinta yang disusun BWS. Penulis akan mendapat honor sesuai standar BWS.
• Keputusan juri tidak dapat diganggu-gugat dan tidak diadakan surat-menyurat.


SYARAT KHUSUS LOMBA CERPEN:
• Diketik dengan komputer di atas kertas A4 dengan jarak 1.5 spasi. Font Verdana ukuran 11.
• Panjang naskah 5 – 8 halaman, dan dikirim dalam bentuk soft copy atau hard copy (boleh pilih salah satu).
• Soft copy dikirim via email ke: bookfrenz@yahoo.com (contact person: Hyla Lia Zakia). Subject: Lomba Cerpen BWS 2010
• Hard copy dikirim via pos ke:Leaderkids,Jl Nusantara Raya no 161 Kota Depok 16432
• Naskah wajib dilampiri formulir (silakan UNDUH di sini). Naskah yang tidak lengkap tidak akan diproses.
• Naskah ditunggu selambat-lambatnya 30 November 2010.
• Pemenang akan diumumkan paling lambat 31 Januari 2011 di blog ini.
• Karya pemenang utama akan dimuat dalam blog ini sehingga bisa menjadi acuan untuk lomba tahun-tahun berikutnya.

HADIAH LOMBA CERPEN
Pemenang 1 : Wisata menulis ke Singapore bersama tim BWS*

Pemenang 2,3,4 & 5 : Uang tunai @ Rp 500.000 + paket buku menarik** dari BWS

*termasuk tiket pp Jakarta-Singapore dan akomodasi selama perjalanan (hotel, makan, tiket masuk wahana wisata dsb). Paspor ditanggung sendiri oleh pemenang.
**paket buku berupa:novel hasil karya siswa-siswa BWS yang diterbitkan penerbit Bestari, buku2 karya Elie Mulyadi yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, buku-buku impor dari para penulis bestselling dunia.


DEADLINE: 30 November 2010

Syarat Umum
• Peserta adalah Warga Negara Indonesia.
• Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik & benar dan menggunakan ejaan yang disempurnakan.
• Naskah harus karya asli, bukan terjemahan.
• Tema bebas, namun sesuai untuk majalah femina.
• Naskah belum pernah dipublikasikan di media cetak, elektronik & online dan tidak sedang diikutsertakan dalam sayembara lain.
• Naskah dilampiri formulir asli dan fotokopi KTP.
• Formulir yang diunduh dari www.femina.co.id merupakan formulir asli.
• Peserta hanya boleh mengirim 2 naskah terbaiknya.
• Hak untuk menyiarkannya di media online ada pada PT Gaya Favorit Press
• Redaksi berhak mengganti judul dan menyunting tanpa mengubah isi.
• Naskah yang tidak menang, namun memenuhi syarat, akan dimuat di femina. Penulis akan mendapat honor sesuai standar femina.
• Keputusan juri mengikat. Tidak dapat diganggu-gugat dan tidak ada surat menyurat.
• Lomba ini tertutup untuk karyawan Feminagroup.

Syarat Khusus Cerber:
• Diketik dengan komputer di atas kertas HVS kuarto dengan jarak dua spasi. Font Arial ukuran 12.
• Panjang naskah antara 40-50 halaman.
• Dijilid dan dikirim sebanyak dua rangkap, disertai 1 (satu) CD berisi naskah.
• Amplop kiri atas: Sayembara Mengarang Cerber femina 2010.
• Naskah ditunggu selambat-lambatnya 30 November 2010.
• Pemenang akan diumumkan di femina, terbit akhir April 2011.

Sumber : www.femina.co.id

Sabtu, 02 Oktober 2010

Perempuan Berzirah

Untuk: Cindy

Seolah,
kekar perempuan perkasa berbaju zirah,
berkalung pedang sedepa di atas pinggangnya.
Diantara ujung2 telapak tangannya,
serat2nya tersimpul doa biru wiru,
tegar di atas kuda

Payah merangkak ketika fajar
berlari kencang menarik kekang ketika berperang
terik, mengirisi karang
ketika senja yang senyap kau meraba tanda baca
mencoba menangis di sepertiga malammu.

Semula,
aku mengenalimu dari lekuk
yang terbaca, hingga kolam
yang membuncah airnya,
seakan ombak yang malu meraba pantainya.

Ah: serupa angsa putih
menghiasi merah sepi senja,
berharmoni tak berpura.

Kudengar ia telah punya sayap yang kekar serupa akar.

Titik. Karena kau­ -- kuncup
yang tersemai oleh titiktitik
hujan yang bermuara pada gerimis
sore yang tak mampu membangkar
kelopak Zirahnya

2010

Distorsi Dilema.

Bukan untuk siapa-siapa???

- Tapak yang terjejak. Merangkak aku pada
detik yang menapak di masa ini.

- Kilap warnanya, hitam awak berupa tanah
semerah darah.

- Sebagian ini yang tergantung di Pelupuk mata
yang mendeham-deham.

- Lihat di ujung-ujung itu terihat ada cerah
dengan air yang berteriak.

- Begitu kelam hitam dan terbenam kusu'
seperti rukuk melihat jalan-jalannya yang belum tertapak.

- Pandangnya Kosong penuh tanda tanya besar?
Atau bahkan memulai menghitung kesadarannya.
Ataukah sudah lantah kemauannya.

- Serupa gelas-gelas yang kosong. Karena,
dilema ini begitu menyiksa dan terus meringkuk di muka


Sidoarjo, 2009

Borok

Lukaku menganga seperti kupukupu.
Segenap perih mengalun dari gelap atas pagi
yang mengawali lanturan bisu.
Karena lanskap ini melebihi tetenger cinta
yang menggaung di dasas SEPI

nb: hati hati di jalan

JUNI 2010

Selasa, 16 Desember 2008

Langkah Oktavia

Sisa-sisa Kekuatan dan Rencana Besar

02.07.2008
» Walaikumsalam wr.wb. insyallah dak apa-apa
» puisinya maksudnya apa ya? Boleh saya tahu nama dan jurusan
» tapi untuk apa puisi di tulis jika tidak di mengerti pembacanya“ bagi saya puisi memang seni. Akan tetapi pencerahan baru bisa kita dapatkan setelah kita terlebih dulu mengerti artinya. Coba di cerna dulu ya
» Ya udah selamat malam.. jika jawaban saya kurang berkenan. Mungkin kamu lebih paham tentang makna puisi lebih dari saya. Sekali lagi maaf J

04.07.2008
» Waalaikumsalam wr.wb. segala pujian hanya untuk Allah.. emh... saya ndak cantik... jangan-jangan kamu salah orang :-)
»
» Orang satra pinter buat puisi ya? Saya bisa di buatkan puisi satu bait? Boleh, maaf kalo merepotkan.
» Kira-kira saya kenal tidak ya denagn kamu? Puisinya bagus banget, tapi kalau disuruh mengartiakn kamu past tidak berkenan. Tidak apa-apa J.
» Amin... oia kamu tadi berpuasa tidak? Puasa Rajab ni... Saya lagi di Kota Solo, buat menjernihkan pikiran dan hati. Kamu anak mana?
» Ya tidak apa-apa ... masih ada waktu, kan masih 29 hari lagi rajabnyaJJ Jawa Timur mana ya? La kok ndak dari dulu-dulu kenal ma saya. Kok saya sudah gak di Surabaya baru kenalan?
» Ya kamu tidur dulu aja... Saya masih pengin melihat bintang, mumpung bintangnya banyak banget ... J Besok kalau kamu masih bantu paman mu kamu ndak usah puasa dulu. Kalu dah longgar baru kamu puasa. J.

05.07.2008.
» Bismillah. Hidup ini kadang membawa kita pada titik diman kita tidak ingin berada di sana. Pada titik yang begitu jauh dari dari harapan. Tapi bertahan dan mencari jalan yang terbaiuak harus dilakukan. Sebut nama Allah dalam kelemahan dan kelelahan. Karena dialah sang pemberi ujian, pemberi kehidupan, dan pemberi pertolongan.
» Ya.. benar.. Usaha dan doa harus seimbang... memangnya kamu teman akrab faruk? J.
» Ehm gitu... Saya belum tahu kamu, ya dah gak apa-apa... ntar kapan-kapan juga tahu sendiri... Betul kan?

07.07.2008
» Afwan... Tadi Hp saya dibuat mainan adik sepupu saya... mungkin salah pencet... dari tadi saya tidak pegang Hp soalnya. Afwan3X.
» Afwan. Memangnya SMSnya apa sih? Dia masih TK.. ada pertanyaan apa? Saya semakin bingung dengan kamu?

08.07.2008
» Wassalamualaikum wr.wb. Saya tidak mengerti maksudnya apa? Muangkin akhi tahu saya punya prinsip, tidak akan pacaran... Saya menjaga hati untuk tidak pacaran selam 21 tahun.
» Saya berpilir dan memutuskan untuk menjaga hati saya kembali... Sampai saya siap dan yakin Allah lah yang memberikan yang terbaik untuk saya... sekarang saya harus fokus untuk ke kerja dulu.

10.07.2008
» Wassalamualikum wr.wb. saya mendoakan semoga kamu mendapatkan akhwat yang lebih baik dari saya... Karena saat ini saya benar-benar hanya ingin membahagiakan ayah saya... Maafkan saya semoga Allah mengampuni saya.
» Arfan tidak marah ataupun kecewa kan dengan keputusan saya? Mau kan memaafkan saya? Bukan egois namun ini merupakan keputusan yang terbaik...
» Kamu orang baik, Arfan. Semua orang yang menjadi teman okta insyAllah baik... Arfan harus berhasil untuk semuanya... saya yakin, suatu saat kamu bisa temukan akhwat yang benar-benar dah siap.

11.07.2008
» Wassalamualikum wr.wb. ndak apa-apa, Arfan tenang aja ... FS nya tidak tidak apa-apa kok... J.
» Ndak, perbuatannya mungkin lagi khilaf aja teman-teman kamu... Maaf juga saya buka FS kamu secara tiba-tiba. Kamu ndak marah kan sama saya?

20.07.2008
» Wassalamualikum wr.wb. Maaf baru balas, tadi ada rapat si LBB... alhamdulillah kabar baik.
» Buku apa ya? Siapa yang nulis?
» Ya, selamat juga ... kelas Saya kemarin ada juga rencana gitu, tapi ndak bisa kayaknya... jadi teman-teman sekelas saya suruh mengisi di diari milik saya. Tapi sekarang diarynya di bawa siapa tidak tahu.
» Ya, jangan main terus, skripsinya cepat diselesaikan. Teman. Wassalamualikum.

05.08.2008
· Bismillah, Kamu belum mengenal saya… saya tak sebaik yang kamu pikirkan… (…)
· Saya tahu itu hanya perasaan kamu sesaat, ntar… juga hilang sendiri… saya paham itu J lupakan saya dan kembalilah pada kehidupanmu sediakala.
· Di hati saya sudah ada senja impian saya. Dan saya ingin menunggu dia.
· Saya tidak mau memberi harapan atau mengecewakan siapa pun.
· Arfan, kamu boleh sms saya lagi kalau kamu sudah menganggap saya sebagai teman biasa… sama seperti faruk, angga, dll. Senja itu impian saya biarkan diaya bersinar.
Pulauku
~untuk Oktavia yang pertama

via, kusebut cahayamu lentera biru,
juga pipit di pantai kemarau.

sedang aku bamboo yang menua.
Sendiri menanti hingga mati dalam sepi.

Sebab sajak ini terlalu takut.
Hingga ia lirih merintih memanggilmu.

kemarilah. karena hanya sisipus
yang mengulangi kesalahannya

Desember, 2007

MUKA IBU KOTA

Mak, Mungkin di Bungur. Ketika putih tulang
mulai mengeropos dan keringat begitu sengat. Maka,
malam begitu lelap, hanya bulat berbalut senyap.

Bahkan bukan hanya malam yang senyap. Tapi,
cahaya enggan padat merayap. Jingga dalam waktu yang terlelap.

Tapi senyumnya begitu menyiksa. Ketika
anai-anai beraganti riang canda seluruh desa.

Pasti disini dan tetap disini.
Tiang harapan begitu tinggi.
Hingga melampau tiang upacara senin pagi.
Hingga akhir perjamuan suatu pagi menanti dengan pasti.

Juni, 2008

SENJA DAN GERIMIS

Buat oktavia

Seperti kuning bulir Padi, yang menanti gerimis
di akhir Mei. Yang terselip senyum petani. Pasti aku
akan sabar dan tetap menekur, membisu menanti.
Hingga lupa mengeja huruf o dan a di waktu pagi.

Bahkan jika haus menusuk tenggorokanmu, maka akan kubasuh
dari tetes embun yang menyelimuti pucuk-pucuk daunmu. Juga dari kakimu.

walau punggung ini kelu, sampai malam
menusuk sumsum tulang yang mambiru.

Tapi, aku adalah senja di akhir Mei,
yang menanti datangnya gerimis juga pelangi.

Walau bisu dan sepi, tetap aku setia
Seperti kesetiaan malam yang menyapa cahaya fajar pagi.

Juli, 2008

Selasa, 28 Oktober 2008

STA dan Novel-novelnya


IGNAS KLEDEN

Pada 29 Mei 2008 Akademi Jakarta menyelenggarakan STA Memorial Lecture di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Salah satu pemberi kuliah adalah Ignas Kleden, khusus menyoroti Sutan Takdir Alisjahbana dengan novel-novelnya. Novel Kalah dan Menang tidak dimasukkan ke dalam pembahasan di sini karena penulis belum selesai membacanya ketika menulis esai ini. Lembar Bentara menyiarkan kuliah Ignas tersebut dalam dua penerbitan. Bagian pertama pada terbitan hari ini. Bagian kedua pada terbitan Agustus. Untuk keperluan penerbitan ini, semua anotasi dihilangkan.

Tahun 1950 Asrul Sani mengajukan kritik bahwa Sutan Takdir Alisjahbana (seterusnya: STA) adalah seorang guru dengan banyak jasa, tetapi kedudukannya secara artistik tidak kita ketahui. Posisi dan pendirian kesenian STA tidak begitu jelas, tidak sejelas pendiriannya tentang pendidikan dan kebudayaan misalnya.

Asrul memang agak berlebihan karena pendirian STA tentang sastra sangat jelas dalam esai-esainya, misalnya dalam pandangan yang secara kategoris membedakan puisi lama dan puisi baru; tetapi pendirian itu tidak begitu jelas kalau diimplementasikan dalam karya sastra yang dihasilkannya sendiri, khususnya dalam penulisan novel.

Berulang kali dikatakan bahwa sastra tidaklah bisa bermewah-mewah dengan keindahan untuk mencapai kepuasan seseorang dalam mencipta, tetapi harus dilibatkan secara aktif dalam seluruh pembangunan bangsa, meskipun kata pembangunan itu sendiri belum banyak digunakan pada masa STA memaklumkan pendirian-pendiriannya.

Dalam esai yang sama Asrul juga menulis bahwa STA termasuk dalam generasi yang sibuk dengan kesusastraan amtenar. Dikatakan secara sosiologis, STA hanya memerhatikan kesusastraan kelas menengah yang dipenuhi para guru, dokter, wedana, gadis cantik, dan barangkali juga mertua yang kaya dan memaksakan kehendak.

Pernyataan-pernyataan Asrul tersebut seakan meramalkan masa depan penulisan novel STA, tetapi tidak seluruhnya benar kalau kita mengikuti penulisan novel STA semenjak awal. Perlu ditambahkan bahwa apa yang tak seluruhnya benar ini tidak hanya berlaku bagi pernyataan Asrul, tetapi juga pada pernyataan-pernyataan STA sendiri. Kalau sastra dan seni umumnya dianggap harus membuat orang lebih optimistis dan menghadapi kehidupan dengan semangat juang yang tinggi untuk mengatasi berbagai masalah dan situasi kritis, maka keinginan STA tersebut tidak juga terlihat pada beberapa novelnya.

Dalam novel Tak Putus Dirundung Malang, misalnya, kita bertemu dengan dua bersaudara, Mansur dan Laminah, yang sepanjang hidupnya selalu mengalami kesulitan dan nasib sial, dan seakan keduanya tak berdaya mengatasi kesialan tersebut. Kesulitan-kesulitan dilukiskan sebagai kondisi-kondisi obyektif yang tidak bisa diatasi oleh keduanya dengan kemauan dan kekuatan sendiri. Novel ini bertentangan dengan keinginan STA karena cenderung memperlemah semangat, membuat orang mengucurkan air mata, tetapi tidak melecut orang untuk berjuang dengan gembira menghadapi dunia.

Juga, ini bukanlah novel yang melukiskan dunia amtenar, tetapi dunia orang-orang kecil yang terlunta-lunta nasibnya, tanpa kesempatan untuk menaiki tangga mobilitas sosial yang menjadi ciri utama dari kehidupan kelas menengah.

Kecenderungan STA seperti ini terlihat juga dalam novel Dian yang Tak Kunjung Padam. Ini cerita tentang romantisisme si pungguk merindukan bulan. Tema utama adalah masalah yang muncul dari jarak sosial karena perbedaan keturunan, perbedaan kota desa, dan perbedaan kelas ekonomi. Novel ini pun penuh dengan suasana sedih diselang-selingi peristiwa-peristiwa melodramatis.

Novel lainnya berjudul Anak Perawan di Sarang Penyamun berisi cerita yang secara psikologis hampir mustahil karena seorang anak dara ditangkap dan dibawa ke teratak penyamun setelah orangtuanya dirampas hartanya dalam suatu perjalanan. Ayah gadis itu, Haji Sahak yang kaya, mati dalam perampokan itu, dan ibunya yang selamat menjual rumahnya yang besar di Pagar Alam, dan kemudian hidup miskin di sebuah pondok di ujung kampung.

Setelah suatu perampokan yang gagal dan menewaskan beberapa rekannya, kepala penyamun itu, Medasing, dapat diyakinkan oleh si Sayu, gadis itu, untuk pulang ke Pagar Alam dan hidup sebagai orang baik-baik. Ibu Sayu meninggal ketika berjumpa lagi dengan anaknya itu, dan cerita tidak diteruskan sampai tiba-tiba pembaca diberi tahu bahwa Pagar Alam diperintah oleh seorang hartawan yang bijaksana dan istrinya yang cantik jelita dan pemurah. Hartawan tersebut adalah Medasing, bekas kepala penyamun, dan istrinya tentulah Sayu, perempuan yang termasyhur kecantikannya di seluruh Pagar Alam.

Hal yang tak meyakinkan ialah bahwa selama berada dengan para penyamun di teratak mereka di tengah hutan rimba, Sayu, dara yang jelita itu, tak sedikit pun menarik hati para penyamun itu, kecuali informan yang bolak-balik dari desa ke hutan untuk memberi kabar tentang orang kaya yang akan lewat dan dapat dijadikan mangsa perampokan. Pengarang memberi keterangan bahwa para penyamun itu terlalu lama hidup di hutan, hampir tak mengenal perempuan, dan perhatian mereka hanya tertuju kepada pembinaan tenaga fisik untuk menyabung nyawa dalam tiap perampokan. Inilah sebabnya, mereka tidak belajar tertarik kepada seorang wanita selagi berada di rimba.

Dapat dipastikan bahwa ketika menulis novel tersebut, STA belum banyak membaca buku-buku psikologi, khususnya psikologi yang menyangkut kehidupan seksual. Pengarang tampaknya belum mengenal teori-teori Freud, yang menjelaskan bahwa dorongan seksual bukanlah sesuatu yang dipelajari dari masyarakat, tetapi berasal dari suatu tenaga yang disebut ID, yang tumbuh bersama kematangan psikofisik seorang individu. ID tidak bersifat baik atau buruk dan sering bekerja secara tidak disadari oleh manusia.

Masyarakat dan norma-normanya menjadi SUPEREGO, yang harus menjaga agar tenaga tersebut tidak merusak kehidupan EGO. Dengan demikian, mengatakan bahwa para penyamun itu tidak tertarik kepada gadis jelita, Sayu, karena berada jauh dari masyarakat adalah keterangan yang tidak meyakinkan secara psikologis karena ID sebagai energi selalu aktif apakah seorang berada di desa, di kota, di hutan rimba, dan bahkan kalau seorang berada seorang diri di kamar atau di tepi pantai.

Kalau novel ini bermaksud mendidik pembaca agar menghormati kaum perempuan, maka inilah contoh soal tentang pendidikan yang memberikan ilusi karena tidak berdasarkan pada kenyataan dan hanya berdasarkan angan-angan pengarang yang tidak bisa dibenarkan dalam kehidupan manusia.

Ketiga novel tersebut rupanya ditulis ketika paham STA tentang sastra yang mendidik belum matang dalam pemikirannya. Ketiga novel itu adalah sanggahan dalam praktik literer terhadap apa yang dikehendaki oleh STA tentang peran sastra dan seni dalam mendidik masyarakat, dan menyanggah pula kritik Asrul Sani bahwa novel-novel STA adalah sastra amtenar, sastra kelas menengah, atau sastra borjuis.

Sifat amtenar dalam novel STA baru muncul dalam novel Layar Terkembang karena lingkungan tempat cerita itu bermain adalah lingkungan amtenar. Tokoh utama cerita itu adalah sepasang gadis bersaudara bernama Tuti dan Maria, anak bekas wedana Banten, Raden Wiraatmaja, yang melewatkan masa pensiunnya di Jakarta. Maria adalah siswa HBS dan Tuti sudah bekerja dan aktif sebagai orang pergerakan yang turut memimpin organisasi perempuan bernama Puteri Sedar. Lingkungan pergaulan mereka adalah siswa dan guru-guru Belanda di satu pihak dan orang-orang pergerakan di lain pihak.

Maria jatuh cinta kepada Yusuf, seorang mahasiswa kedokteran di Jakarta, yang sedang menyiapkan ujian doktoralnya. Ayah Yusuf adalah demang Munaf di Martapura di Sumatera Selatan. Maria, gadis santai yang agak manja, suka akan kembang dan tanam-tanaman, membaca buku-buku tentang cinta, dan gemar akan baju-baju bagus yang dipilih dengan selera tinggi. Tuti, kakaknya, tampil sebagai perempuan intelektual yang sibuk dengan buku-bukunya, tegas dalam sikap-sikapnya, dan terlibat aktif dalam pergerakan untuk memajukan kaum perempuan.

Yusuf memang jatuh cinta kepada Maria dan keduanya saling merindukan setiap saat. Meski demikian, dia sangat menghormati dan mengagumi pikiran dan pendirian Tuti, serta terkesan oleh sikapnya yang pasti dan penuh komitmen kepada cita-cita kaum perempuan.

Munculnya Yusuf dalam kehidupan dua gadis bersaudara itu menimbulkan efek berbeda. Maria merasa menemukan lelaki idamannya, dan tanpa ragu bersedia menyerahkan diri sebagai istrinya, apabila pelajaran keduanya telah selesai. Tuti dalam pada itu tetap dengan kesibukan dan cita-citanya, tetapi pada waktu-waktu tertentu merasa terganggu juga oleh kemesraan yang diperlihatkan Maria dan Yusuf.

Betapa pun pengarang terlihat sangat mengunggulkan Tuti, pada akhir cerita ternyata Tuti dapat ditaklukkan oleh tuntutan cinta ketika Maria yang mengidap penyakit TBC yang tak dapat disembuhkan menyampaikan amanat kepada Tuti dan Yusuf agar keduanya jangan mencari peruntungan pada orang lain, tetapi saling menerima sebagai pasangan yang saling mencintai.

Akhir cerita ini menimbulkan beberapa pertanyaan. Kepada pembaca tidak dijelaskan bagaimana Tuti yang keras hati dapat dengan mudahnya menerima permintaan adiknya untuk menjadi calon istri Yusuf dan apakah Tuti yakin kalau setelah menikah nanti, Yusuf masih menghormati cita-cita dan perjuangannya untuk kaum perempuan.

Hal ini perlu dipertanyakan karena masalah inilah yang menyebabkan Tuti telah menolak cinta dua laki-laki sebelumnya. Demikian pula Yusuf, apakah dia menerima Tuti karena menghormati permintaan Maria atau semata-mata karena merasa kasihan kepada Tuti? Ataukah sudah semenjak awal hatinya terbelah dua antara Maria dan Tuti meskipun hal ini tak terlihat dalam teks-teks novel ini?

Akhir cerita memang mengharukan, tetapi pertanyaan-pertanyaan tersebut tak memperoleh jawabannya. Akibatnya, ketika layar itu terkembang, tidak jelas pula apakah yang terkembang adalah cinta antara laki-laki dan perempuan ataukah terkembang cita-cita tentang meningkatnya martabat kaum perempuan yang dengan gigih diperjuangkan Tuti sebelumnya.

Dari sastra amtenar dalam Layar Terkembang STA meningkat menulis sastra yang benar-benar borjuis dalam Grotta Azzurra. Ini novel tentang orang-orang yang tidak pernah lagi mengalami persoalan uang dan masalah basic needs, tetapi yang tiap hari berdiskusi tentang berbagai topik politik, seni, filsafat, dan pandangan hidup di kota-kota di Eropa. Diskusi berlangsung dalam perjalanan wisata, atau di rumah seorang kenalan dengan makanan berlimpah disertai berbagai jenis anggur, di restoran hotel-hotel berbintang, atau di sebuah galeri tempat para pelukis memamerkan lukisan-lukisan.

Tokoh utama dalam novel ini adalah Ahmad, seorang pelarian politik anggota Partai Sosialis Indonesia, yang terlibat dalam pemberontakan melawan pemerintahan Soekarno, dan kemudian bertahan hidup di kota Roma dengan bekerja pada sebuah pabrik mobil. Dia berkenalan dengan Mercelin Janet, seorang perempuan 35 tahunan, berasal dari Paris, anak seorang profesor kesenian antik dan Abad Pertengahan. Keduanya berkenalan dengan dua orang lainnya, yaitu Conrad Weber, profesor ilmu politik dari Frankfurt, dan Evelin Turner, seorang perempuan Amerika, yang bekerja untuk tentara Amerika pada dinas hubungan tentara dan masyarakat di Frankfurt.

Ahmad dan Janet bertemu secara kebetulan ketika mereka naik kapal dari Sorrento ke Pulau Capri untuk melewatkan liburan di sana. Perkenalan mereka menjadi lebih dekat ketika keduanya mengunjungi sebuah goa yang terkenal karena airnya yang berwarna seperti zamrud hijau biru. Nama novel itu diambil dari goa itu yang dinamakan Grotta Azzurra (goa biru). Kisah cinta antara Ahmad dan Janet memang berkembang, bersama dengan hubungan yang semakin mesra antara Conrad dan Evelin.

Hal yang mengganggu ialah bahwa entah di Pulau Capri, di Napoli dan Firenza, atau di Frankfurt dan Lindau, kisah mereka bagaikan hanya sampiran untuk hal yang lain sama sekali, yaitu diskusi-diskusi yang panjang dan berlarut-larut tentang sejarah para kaisar Roma, tentang kesenian Romawi kuno, kemudian tentang partai komunis Italia dan peranan politiknya, tentang seni renaisans dan seni modern, tentang seks bebas dan perkawinan, tentang emansipasi perempuan dan agama, atau tentang perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Abad Pertengahan dan di zaman modern.

Memang mengagumkan melihat bagaimana pengarang menyiapkan diri dan bahan-bahannya tentang berbagai soal itu. Akan tetapi, soal-soal itu ditonjolkan sedemikian rupa sehingga seakan-akan menjadi kuliah privat yang diberikan oleh Janet kepada Ahmad atau Evelin kepada Janet atau Ahmad kepada Conrad. Lingkungan sekitarnya menjadi tidak penting. Akibatnya, kalau kita membuang semua tempat itu dari teks, maka diskusi-diskusi itu tetap berjalan dengan baik.

Sebagai contoh saja, di Pulau Capri hanya diceritakan tentang hotel tempat Ahmad dan Janet menginap, tentang pemandangan-pemandangan indah yang membangkitkan lagi hasrat melukis Janet yang telah mati bertahun-tahun, dan kemudian tentang diskusi-diskusi keduanya. Tak sepatah kata pun diceritakan kehidupan penduduk di Italia selatan yang terkenal miskin, dan bagaimana penduduk di sana berjuang untuk mempertahankan hidup mereka.

Demikian pun Ahmad diceritakan sudah mempunyai istri dan tiga orang anak, dan keluarganya inilah yang menjadi ikatan yang membuatnya selalu ragu untuk mengikat dirinya dengan Janet dalam hidup bersama di kota Paris, sebagaimana diinginkan oleh Janet, tetapi tidak kesampaian. Sayangnya, kita tak diberi informasi apa pun tentang keluarganya ini di Indonesia: apakah istrinya bekerja atau tidak, berapa usia anak-anaknya, apakah mereka anak laki atau perempuan, dan apakah mereka masih mengingat nama dan wajah ayah mereka. Bahkan nama istrinya pun tidak kita ketahui.

Ini bukanlah suatu strategi dalam bercerita, tetapi lebih merupakan kealpaan pengarang yang hanya sibuk dengan ide-idenya dan menjadikan semua konteks tidak sebagai setting cerita, tetapi hanya sebagai back drop yang boleh dibongkar pasang setiap waktu tanpa mengganggu jalannya diskusi.

Memang beberapa kritikus menamakan novel ini novel ide, tetapi persoalannya apakah ide itu digarap di sebuah ruang kuliah, dalam seminar akademis, atau dalam sebuah cerita. Di sinilah kesulitannya. Hal ini tidak diperhatikan dan bahkan tidak dipedulikan oleh pengarang. Akibatnya, buku ini akan berguna dan mengasyikkan kalau dibaca sebagai sebuah buku pengantar pelajaran tentang berbagai soal, tetapi susah dibaca sebagai sebuah novel yang menarik.

IGNAS KLEDEN Sosiolog
KOMPAS, 11 juli 2008

Anugerah Pena Kencana; oleh

SETELAH buku Anugerah Sastra Pena Kencana 2008 (cerpen dan puisi) dilepas di pasar, kedua buku itu langsung menuai kritik. Setumpuk kritik tersaji di milis-milis. Belum lagi pesan pendek yang beredar melalui handphone ke handphone. Intinya, kalau tidak mempertanyakan ya menghujat cara penjaringan dan penilaian --termasuk kepada dewan juri dan panitia yang karyanya masuk dalam buku.

Pemberian anugerah karya sastra di Tanah Air bukan kali ini saja yang panen kritik, tapi sudah berulang-ulang seiring bergulirnya anugerah. Contoh yang sangat dekat ialah KLA (Katulistiwa Literary Award), SEA Write Award, dan sebagainya.

Tradisi kritik memang sudah mendarah daging di negeri ini. Tetapi, ''tradisi'' tersebut muncul tersebab ''budaya'' kita juga yang kerap abai pada aturan-aturan yang telah disepakati. Atau longgar dan menyepelekan persyaratan yang sudah diteken; aji mumpung dan menganggap masyarakat dapat ''dipaksa'' untuk menyetujui setiap keputusan yang diambil.

Sampai kini KLA tak sepi oleh kritik. Misalnya, soal penjurian tingkat awal untuk ''memburu'' buku-buku sastra di toko buku (konon, prioritas TB Gramedia) yang ada di Jakarta. Mereka ''dimodali'' untuk membeli sejumlah buku, kemudian mengajukan judul buku yang dipilihnya untuk mengikuti penyaringan.

Sampai di sini, kelihatannya tak ada masalah. Pertanyaan pun lalu muncul: siapa (mereka) yang dipercaya penyelenggara untuk memburu buku sastra? Berapa ''modal'' yang diberikan kepada mereka dan dengan modal itu berapa buku yang harus dibeli dan dibaca. Apakah panitia mengaudit modal dan buku yang dibeli? Sikap ''saling percaya'' rasanya tidak tepat dilakukan di sini.

SEA Write Award yang ditaja Pusat Bahasa juga tak terelakkan menuai kritik. Bahkan acap sulit diterima akal, kenapa si Fulan mendapat SEA Write Award tahun ini dan mengapa si Bolan yang nyata-nyata buku-buku karyanya --secara kuantitas dan kualitas-- dapat dipertanggungjawabkan, justru tidak terpilih? Sebab itu, SEA Write Award lalu dianggap ''anugerah arisan'' karena memang yang sudah pernah mendapat tidak akan mendapat lagi. Seorang teman tatkala memeroleh anugerah itu, melalui pesan pendek, dengan gurau berujar: ''Kali ini giliran aku yang mendapat arisan.''

Itulah sedikit gambaran fenomena award-award di ranah sastra Tanah Air. Sebenarnya masih banyak, termasuk Ahmad Bakrie Award, Akademi Jakarta, dan seterusnya. Pemberian anugerah sama tipisnya dengan penetapan sastrawan yang (akan) diundang ke luar negeri: sama-sama berisiko dikritik dan sama-sama ''bermain''.

Ya! Bicara soal ''bermain'' memang kehidupan ini adalah permainan. Karena permainan, lakoni saja dengan penuh keriangan. Dengan kata lain, gak usah serius amat, bermain-main saja, santai. Meminjam moto konco-konco di KoBer (Komunitas Berkat Yakin): rock n roll hahaha.

Lalu, apakah karya sastra bukan lahir dari keseriusan? Soal ini, siapa pun setuju 100 persen. Antara karya sastra dan penilaian award acap tak dapat dicari titik temu dan titik tujunya. Lha wong sekelas Nobel saja tak bebas kritik, kok.

Aturan-aturan dalam penentuan suatu pilihan dibuat sangat ideal. Tetapi, seideal apa pun tetap punya celah untuk ''dimainkan'', lalu jadi ''ketetapan baru''. Undang-undang, AD-ART, dan apa pun namanya selagi yang buat manusia, ia punya ruang untuk dilanggar.

Demikian pula dengan Anugerah Sastra Pena Kencana (ASPK) 2008. Setahu saya dari milis-milis, puisi-puisi Joko Pinurbo -penyair yang juga salah seorang dewan juri ASPK-- melanggar deadline antara pemuatan di koran dan kesepakatan dalam penjurian (Maafkan kalau apa yang saya kemukakan ini salah).

Tulisan ini tak akan jauh memasuki masalah puisi-puisi Jokpin. Saya --dan barangkali banyak pembaca sastra-- hanya mempertanyakan kepatutan apa sehingga para juri juga berhak menilai karyanya? Pertanyaan ini kita sempitkan saja: pantaskah juri merangkap menjadi peserta, meskipun berdalih juri tersebut tak ikut menilai ketika karyanya diajukan; artinya juri-juri lain yang menilai, dan seterusnya.

Kelihatannya tak ada masalah. Namun, sesungguhnya di situlah masalahnya. Analoginya demikian: puisi Fulan (bukan juri) dinilai oleh seluruh juri, sedangkan puisi Bolan (kenetulan juga menjadi juri) dinilai juri lain (minus dirinya). Kenetralan dirinya --kalau mau dikatakan netral-- sekaligus berpihak. Betapa tidak, ketidakikutsertaan dalam menentukan karyanya sendiri, sesungguhnya ia sudah memberi nilai pada karyanya. Tinggal teman-teman jurinya yang lain yang memberi bobot atas karyanya. Adilkah itu, dan di mana keadilannya?

Lalu, kritik yang juga meruak adalah ihwal karya-karya dari panitia yang lolos dalam buku tersebut. Rupanya panitia juga tak hendak dipisahkan dirinya sebagai kreator. Karena itu, dia ''minta keadilan'' agar karyanya ikut dalam bursa pemilihan. Soal ini juga kelihatannya tidak bermasalah. Para panitia akan berdalih: sebagai sastrawan karya kami juga punya hak untuk dinilai, dan jangan dikaitkan statusnya sebagai kreator dan bagian dari penyelenggara. Jika dalih ini terus dipelihara, bisa sangat berbahaya. Bagaimanapun kedekatan emosional antara panitia, juri, dan sebagai kreator tidak bisa dianggap sepele.

Kritik lain, saya pernah dikirimi pesan pendek dari seorang sastrawan Riau. Ia meragukan keakuratan saat perekrutan karya-karya yang terpublikasi setahun berjalan itu dari bebagai koran di sejumlah kota di Tanah Air. Pasti ada yang luput. Ia ambil gampang saja. Satu koran akan menurunkan beberapa puisi dan satu cerpen setiap pekan. Dikalikan setahun, jadilah 48 kali terbit (tak termasuk hari libur yang mungkin bertetapan pada Minggu). Lalu dikalikan minimal 5 puisi atau 7 puisi. Jadi, untuk satu koran saja, setahun bisa menginventarisasi sedikitnya 240 puisi. Nah, berapa koran yang ditelisik panitia ASPK? Dan, apakah setiap pekan dari media-media yang ditetapkan panitia tersebut dijamin tidak akan luput dari penyaringan panitia?

Seorang penyair lain berkelakar, ASPK tak lebih hanyalah ''permaianan''. Ia sepakat dengan contoh-contoh seperti yang sudah dikemukakan di atas. Itu sebabnya, teman penyair itu --kebetulan karyanya masuk dalam 100 Puisi Pilihan ASPK 2008 mengaku tak tetarik mengikuti babak pilihan pembaca buku itu melalui SMS (short message system).

Dari awal saja sudah permainan, karena itu tak perlu serius-serius amat, teman penyair itu menegaskan. Sebab, kalau kita mau ikut dalam permainan itu, kudu punya modal.

Sampai di sini, kita berkalkulasi dengan modal. Harga buku karya ASPK 2008 Rp 50 ribu per eksemplar. Sekiranya memiliki modal Rp 30 juta, kita akan mengantongi minimal 600 suara. Kalau menang, masih untung Rp 20 juta. Sebab, pemenang anugerah ini mendapatkan Rp 50 juta. Lumayan kan? Namun, dengan perolehan suara yang cuma 600 itu belum apa-apa. Posisinya masih gambling. Karena itu, perlu siasat lainnya: mengontak saudara, teman, kolega, dan seterusnya agar bersedia memberi dukungan.

Mari berandai-andai. Penyair Fulan kebetulan seorang karyawan (lebih baik lagi karyawan yang memunyai jenjang komando semisal di kepolisian atau TNI). Penyair yang karyawan itu bisa mengerahkan konco-konconya untuk membeli 1 atau 2 eksemplar buku lalu mengirimkan SMS dengan memilih puisi Fulan sebagai puisi terbaik.

Apabila dalam satu instansi saja, si Fulan bisa mendapatkan 300 orang pendukung, sudah lebih dari lumayan suara terkumpulkan, yakni 600 suara. Belum lagi, teman dari keluarganya yang kebetulan juga karyawan di instansi lain. Dan, akan lebih menguntungkan jika penyair Fulan bekerja di suatu instansi yang garis komandonya kuat. Ia cukup ''memerintahkan'' juniornya dan ''merayu'' seniornya untuk membeli buku dan mengirim SMS dukungan ke panitia!

Maka, penetapan ASPK memang bukan diukur sebagai prestasi. Tetapi, sekali lagi, cumalah permainan --seperti juga permainan dalam Akademi Fantasi Indonesia (AFI) di Indosiar dulu.

Kecuali kelalaian panitia, kalau saya tidak salah, antara perolehan suara untuk Inggit Putria Marga dan Dahta Gautama (juga Jimmy Maruli Alfian, ketiganya dari Lampung), mestinya Dahta berada di atas Inggit. Selebihnya, untuk apa kita sikapi secara serius final Anugerah Pena Kencana? Ya, anggaplah ini sebuah permainan, maka gak usah serius amat! Lalu lupakan, tapi tetap berkarya dan mengharap-harap pada ASPK jilid 2 nanti karya kita masuk nominie pemenang dan dibukukan. Syukur kalau kemudian karya kita dipilih pembaca sebagai karya terbaik dan memeroleh hadiah Rp 50 juta. Wah, bisa bikin rumah baru atau naik kuda nipon. (*)

Lampung, 2 Oktober 2008; 00.42

Minggu, 12 Oktober 2008

Lomba Puisi Sumpah Pemuda dan Rembug Budaya Metropoli 2008

Lomba puisi dan esai pemuda yang diadakan Perhimpunan Indonesia Tionghoa ''INTI'' Jatim masih memberikan kesempatan kepada para pelajar dan mahasiswa di Jawa Timur untuk mengirimkan naskahnya. Pengiriman naskah paling lambat 18 Oktober mendatang (stempel pos), di Sekretariat INTI: Sekretariat INTI, Jl Karet 21-23 Surabaya, telp. 031-3521569, faks. 031-3532762. ''Naskah peserta terus berdatangan, baik puisi maupun esai. Tapi, bagi yang belum sempat mengirim, masih ada waktu hingga 18 Oktober nanti,'' ungkap Lan Fang, panitia.

Lomba penulisan puisi dan esai pemuda itu dalam rangka peringatan 80 Tahun Sumpah pemuda. Lomba khusus pelajar dan mahasiswa itu (naskah dilampiri fotokopi kartu pelajar atau kartu mahasiswa) sudah dimulai awal September lalu. Karya harus orisinal dan belum pernah dipublikasikan. Untuk cipta puisi, naskah rangkap tiga dengan format bebas. Sedangkan untuk naskah esai, maks. 5.000 karakter, huruf times new roman 12 dengan spasi 1/5, dikirim rangkap tiga. Naskah akan dinilai juri Sapardi Djoko Damono dan Budi Darma. Juara I-III puisi mendapatkan hadiah Rp 1,5 juta, Rp 1 juta, dan Rp 750 ribu. Sedangkan juara I-III esai mendapatkan hadiah Rp 2,5 juta, Rp 2 juta, dan Rp 1,5 juta.

INTI juga mengadakan lomba futsal untuk pemuda. Lomba akan dilangsungkan 19 Oktober 2008 di Gedung Serbaguna KEP Pantai Ria Baru Kenjeran, Surabaya. Hadiah yang disediakan total Rp 6,5 juta. Info lebih lanjut hubungi panitia di 08175283993. (*/ari)

Sedangkan Rembug Budaya Metropoli 2008

Yayasan Metropoli Indonesia (YMID) menggelar ''Rembug Budaya Metropoli 2008'' di Dusun Tanah Lengis, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Karangasem, Bali, 18-21 Oktober. Rembug budaya akan dibuka bupati Karangasem pada 18 Oktober pukul 09.00. Ada pentas seni spiritual ''Panedeng Masa Kartika'' dari Saraswati Mahapradnya Saren; launching Majalah Wali; dan pentas Tari Janger Anak-anak dari Linggasana, Bebandem. Juga ada Pentas Gong Kebyar Anak-anak Dusun Umanyar, Ababi; drama tradisional Arja Men Brayut; lomba melukis dan Nyurat Aksara Bali; serta sarasehan budaya dengan pembicara pelukis Made Budhiana.

Pada hari kedua (19/10) diadakan lomba Gong Kebyar Anak-anak (6 grup), kampanye sampah plastik dan lingkungan, dan pemutaran film Bali Tempoe Doeloe. Pada hari ketiga (20/10) diselenggarakan lomba Tari Margepati dan Puspawresti, atraksi Tabuh Gender Anak-anak (Banjar Abianjero, Gunaksa, Umanyar), dan pentas Gambuh Anak-anak Saraswati Mahapradnya dengan lakon Calonarang. Sedangkan penutupan (20/10) akan diramaikan atraksi Yoga Asana Banjar Tanah Lengis, potong tumpeng ulang tahun YMID, dan pengumuman lomba.

Untuk informasi hubungi telp./fax. (0363) 22600 atau 081337143228, 081338084585. Email: director@metropolifoundation.org (Ni Made Sudani), myjengki@yahoo.com (Wayan Sunarta). (*/ari)

Sabtu, 13 September 2008

Cincin Kawin



saya begitu tertarik dan terkesan dengan gaya penulisan dari danarto. banyak yang berkata danarto adalah seorang penulis yang bermahzab "realisme magis". selamat menikmati cerpen ini.
Cerpen Danarto

Ketika ibu mendapatkan cincin kawinnya berada di dalam perut ikan yang sedang dimakannya, seketika ibu terkulai di meja makan, pingsan. Lalu koma sekitar satu minggu, kemudian ibu meninggal dunia. Sejak saat itu sejarah hidup keluarga kami diputar ulang. Seperti digelar di kamar keluarga, juga di pekarangan belakang rumah, hari demi hari diperlihatkan malaikat betapa cara kerja langit tak mempunyai patokan. Tak dapat ditebak. Tak terduga. Dalam mengarungi pemandangan yang terbentang di hadapan, kami tak tahu benar apakah itu pemandangan alam atau lukisan pemandangan alam di atas kanvas.

Kami juga sering turun dari kendaraan umum lalu beramai-ramai menambal aspal jalan yang mengelupas. Atau mendorong bus kami yang terjerembab banjir. Pemandangan indah, pemandangan suram, semua disajikan kepada kami.

Kami harus jujur, kami sekeluarga bukan kumpulan orang-orang baik tapi kami mematuhi rambu-rambu lalu-lintas. Hidup kami baik-baik saja sampai gempa yang berkekuatan dahsyat itu jatuh dari angkasa. Seluruh bangunan porak-poranda sampai sekecil-kecilnya rata dengan tanah. Nama, watak, kelakuan, pikiran, emosi, keberuntungan, dan nasib jelek, berputar-putar di dalam kubangan rajah tangan yang sudah dicetak di dalam K.T.P. yang tersimpan dalam segel laminasi dengan warna emas.

Jika kami bongkar, apa satpam tidak marah? Jika tidak kami bongkar, kami megap-megap. Tapi itulah harga mati dari rantai yang sudah telanjur bergandengan.

Hari itu hari yang mendidih. Walau hujan sehari-harinya, Desember yang hitam-pekat oleh bara yang menganga telah membayangi hidup kami sekeluarga setiap detiknya. Hari belum tinggi benar ketika ayah diseret ke tepi Sungai Brantas bersama puluhan orang --laki-laki dan perempuan-- yang duduk dengan mata tertutup dan tangan terikat ke belakang. Mereka basah-kuyup menggigil kedinginan oleh hujan dan kepanasan oleh hantu yang mengintip dari balik kancing baju mereka. Persis gundukan tanah yang tumbuh berderet-deret menghiasi sungai, mereka gundukan-gundukan yang tak dikenal. Gundukan semak belukar yang setiap saat dibabat supaya kelihatan rapi.

Ketika itu mata saya mengintip dari balik semak dalam hujan lebat yang tak mau tahu. Mata yang berumur sekitar dua puluh delapan tahun. Mata yang menatap tajam di antara tetesan hujan deras itu. Saya menyaksikan satu per satu dari leher orang-orang yang duduk termangu-mangu setelah disambar kilatan putih menyemburkan cairan merah dengan deras ke udara. Lalu tubuh-tubuh yang masih duduk tak berkepala itu didorong terjungkal ke sungai. Tubuh-tubuh itu tenggelam lalu tersembul kembali. Dalam sekejap mayat-mayat yang mengapung-apung itu memenuhi seluruh permukaan Sungai Brantas.

Rasanya hujan bertambah deras. Para petugas yang telah melaksanakan perintah itu, dalam keadaan basah-kuyup berlarian dengan pedang yang telanjang berkilatan oleh cahaya petir, menuju sejumlah truk yang telah kosong, lalu tancap gas meninggalkan kawasan itu. Dengan menjerit-jerit memanggili ayah, saya yang menggigil dalam hujan penuh geledek menyambar-nyambar, berlari menyusuri tepi sungai mengikuti mayat-mayat yang mengapung dibawa deras air.

Lalu saya terjun ke sungai berusaha keras mencari jenazah ayah. Saya menyembul dan menyelam di antara jenasah-jenasah itu, mencoba mengingat kembali baju apa yang dipakai ayah. Rasanya seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Hujan yang sangat deras menyebabkan permukaan air sungai penuh uap. Saya megap-megap. Saya berenang menepi setelah usaha saya sia-sia.

Mayat-mayat embun, taruhlah di nampan, jadi hidangan suci dari bau tangan yang gatal. Menyayat-nyayat dada, menyayat-nyayat air liur yang dijilati petir. Mayat-mayat yang menyembunyikan nama, watak, kelakuan, pekerjaan, emosi, elan vital. Mayat-mayat, puluhan, ratusan ribu, carilah dalam map dari para pencari data. Para pencari data yang berdatangan dari seantero dunia.

Memanggili ayah, memanggili nama dari halaman yang hilang. Mayat-mayat yang begitu mengerti mengantarkan kepala-kepala yang timbul tenggelam dalam air. Saya tidak bisa mengerti. Saya tidak bisa mengerti.

Yang mana tubuh ayah? Yang mana jenazah ayah? Saya mengikuti terus tumpukan mayat-mayat itu yang terus diseret sungai sampai menuju entah. Saya berlari terus, saya berlari terus, saya berlari terus . . .

Hari-hari yang sangat berat bermunculan. Hari-hari yang sangat berat yang harus kami panggul. Saya dikeluarkan dari pekerjaan saya sebagai pemasar barang-barang kebutuhan dapur karena dianggap tidak bersih lingkungan. Begitu juga kakak perempuan saya, Retno, guru SMP. Masih untung, adik saya, Ning, yang bekerja di sebuah usaha kerajinan rakyat, alhamdulillah, masih boleh bekerja. Mungkin karena Ning masih kecil. Sementara itu uang tabungan ibu semakin menipis.

Waktu itu kabar merebak, ikan-ikan yang harganya masih murah sebagai lauk, mulai ditinggalkan karena di dalam tubuh ikan-ikan itu biasa ditemukan potongan jari, bola mata, usus, maupun barang-barang yang menempel di tubuh-tubuh mayat yang memenuhi Sungai Brantas.

Kami masih bertahan makan ikan karena harganya semakin murah, sampai ibu menemukan cincin kawinnya yang dipakai di jari ayah. Hari-hari semakin bertambah berat bagi kami bertiga yang semakin lemah menjalaninya, ketika kami merawat ibu yang koma satu minggu lamanya dengan makanan seadanya yang sangat tidak pantas dan menguburkannya pada hari ke delapan.

Kami bertiga menangis dengan airmata yang menusuk-nusuk hulu hati, mengantarkan jenazah ibu yang diusung oleh para tetangga yang kasihan melihat penderitaan kami. Di gundukan kuburan itu, Ning menangis sejadi-jadinya sambil mencakar-cakar tanah gundukan.

Beberapa bulan kemudian merupakan hari-hari teror dan horor menghantui kami karena di waktu dini hari kami sering terbangun dari tidur terkaget-kaget oleh gedoran orang-orang. Mereka merangsek masuk mencari buron. Mengoprak-oprak kamar tidur kami, memeriksai kolong tempat tidur, dipan, lemari pakaian, dapur, plafon, maupun kebun belakang. Sering Ning terbangun dari tidur menjerit-jerit memanggil ayah, memanggili ibu. Baru reda setelah dipeluk Retno. Sungguh saya tidak bisa mengerti mengapa kami kecebur dalam kubangan begini rupa tetapi kami harus bertahan atau kami hancur berantakan. Saya bekerja serabutan. Apa saja saya kerjakan untuk bisa bertahan hidup. Termasuk jadi tukang sapu pasar.

Hari-hari yang mengerikan itu sering mendorong nyawa kami sampai di tenggorokan. Nyawa yang digondeli raga sekuat-kuatnya. Supaya tidak terlepas. Supaya tetap betah menghuni di dalam tubuh kami dalam keadaan sengeri apa pun. Duh, raga, gondelilah nyawa.

Rasanya tubuh kami tinggal kulit pembalut tulang. Kecantikan Retno yang mewarisi kecantikan ibu, lenyap. Retno tinggal kering kerontang, tanpa seyum, tanpa harapan. Begitu juga Ning yang tampak lebih cantik dari kakaknya, persis anak gelandangan yang memakan apa saja supaya perut tidak lapar. Segala puji bagi Allah Yang Maha Suci, kami masih memiliki rumah tempat kami berlindung dan tempat kami menangis sepuas-puasnya.

Diam-diam saya sering mengunjungi kuburan ibu. Saya tumpahkan segala unek-unek sambil berlelehan air mata. Juga saya mendoakan ibu semoga Allah mengampuni dosa-dosanya dan mengaruniai ibu kebahagiaan di akhirat. Kadang saya merasa ibu hadir di samping saya yang membuat saya menangis sejadi-jadinya.

Saya juga sering menapak-tilasi tempat ayah terduduk di tepi sungai bersama puluhan orang sebelum dieksekusi. Saya meraba-raba pasir yang mungkin keringat dari kaki ayah masih tersisa. Saya memeluk dan menangisinya sambil memohon Allah mengampuni dosa-dosanya dan mengaruniai ayah kenyamanan di akhirat.

Ayah adalah kepala SMP. Semua kegiatan ayah berkisar antara rumah dan sekolah. Hampir tak pergi ke mana-mana. Jika sekolah piknik, ayah tak pernah ikut. Ia menugaskan guru yang lebih muda. Ayah cukup berbahagia mendampingi ibu yang sibuk dengan usaha kateringnya. Ayah tak tertarik politik. Beliau murni seorang pendidik. Setiap kali saya terbangun tengah malam atau dini hari, ayah dan ibu tampak sedang khusyuk beribadah yang membuat saya malu hati karena siapa tahu sedikit banyak sapuan ibadahnya juga untuk keselamatan hidup saya, seorang anak yang barangkali saja tidak memiliki dimensi spiritual, kurang bersyukur, tak menyadari dilahirkan oleh sepasang orang tua yang selalu menginjakkan kakinya di halaman surga, di mana tak semua orang mampu pergi ke sana.

Sampai malam malapetaka itu mengetuk pintu rumah kami dan membawa ayah pergi. Untuk sesaat, saya, ibu, Retno, dan Ning tertegun, sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi. Orang-orang yang menggelandang ayah begitu garang, juga tak bersedia memberi alasan.

Beberapa tetangga yang ikut jadi korban berkumpul di rumah kami, saling bertanya boleh jadi di antara kami ada yang jauh lebih mengerti akan situasi yang terjadi.

Di rumah kami inilah semuanya bertangis-tangisan meluapkan kesedihan masing-masing, seperti gaung yang tak henti-hentinya, tak bisa dimengerti, tak bisa dimengerti, tak bisa dimengerti . . .

Yang saya takutkan setelah meninggalnya ibu, Retno dan Ning tergoncang jiwanya sehingga menjadi tidak waras. Saya ikuti terus perkembangan jiwa keduanya. Saya cukup lega, keduanya cukup sehat, hanya saja kesehatan Retno dari hari ke hari terus memburuk.

''Bertahanlah, Retno,'' bisik saya di telinga Retno yang membujur kaku dan panas. ''Jangan kecewakan ayah dan ibu. Jangan bikin ayah dan ibu menangis di dalam kuburnya. Kamu harus bangun dan bekerja. Kita bertiga harus bekerja supaya ayah dan ibu bangga.''

Ning memeluk erat-erat Retno sambil menangis keras-keras.

Setelah sakit beberapa lamanya, Retno muntah darah. Karena ketiadaan obat dan makanan yang baik, akhirnya Retno meninggal.

Retno saya kuburkan di samping kuburan ibu. Setiap hari saya kunjungi kuburannya yang menyadarkan saya bahwa saya telah gagal menyelamatkan keluarga kecil ini. Apalagi Ning pergi meninggalkan saya entah ke mana.***

Tangerang, 20 Januari 2008