Senin, 14 April 2008

Semeter Dari Meja Tuan

Seperti tersambar petir. Ingatan letusan pistol selalu menyiksa. Aku hanya cuma bisa berdiri. Keyataan berkata lain, aku tak bisa berkata-kata. Dan bukan masanya lagi aku tetap menatap meja itu terus. Gelas masih penuh dan mengepul. Aku harus berlari.
* * *

“Dua tahun lagi aku akan kembali.”
Begitulah ungkapan Hudan ketika ia meninggalkan tempat ia sendiri tidak tahu kapan bangunan ini di bangun. Pondasinya seperti tak mudah tergerus jaman. Gaya arsitektur dari belanda nampak menonjol di setiap jengkal bangunan tersebut. Tak terbayangkan jika bangunan megah yang akan ia tinggalkan mungkin hasil keringat budak-budak belanda(orang Indonesia).
Banyak sudah hasil selama ia di sini. Dari istri yang sudah dua, enam anak pun masih kurang. Sebuah vila di perukitan dengan furniture mahal sebagai hiasan cukup untuk menghiasi akhir pekan Hudan. Istri mudanya sepertinya baru dua tahun lalu muncul di TV. Berita terbaru setengah tahun lalu melahirkan anak dan ia belikan perumahan elit di daerah bukit golf ternama di Surabaya.
Di bangunan tua itu, tuan Hudan hampir lebih sepuluh tahun di pilih oleh direksi untuk memimpin perusahan jawatan pemerintah. Kedudukan itu terasa begitu cepat dan mudah ia mendudukinya. Cepat karena dalam hitungan lima belas tahun ia sudah jadi pemimpin. Dikatakan mudah karena banyak yang membantu termasuk mertuanya yang menjadi salah satu direksi perusahaan jawatan ini.
Namun rekan-rekan senior hanya mencibir dan tersenyum kecut dengan pengangkatan Hudan. Mereka diam, dan bergunjing di belakang direksi kalau tidak, ya… dilakukan ketika makan siang.
* * *
Perubahan terjadi tak semudah membalik telapak tangan tapi perjuang yang berat harus ia lalui. Dia masih ingat akan setiap pagi punggungnya selalu penuh dengan gallon air duapuluh liter-an hanya untuk mandi. Setelah pulang sekolahpun kebiiasan paginya ia lalui hampir tanpa ad perbedaan. Yang mebedakan hanya panas membakar kulit si Hudan yang mengkilap.
Hudan kecil selalu menjadi bahan lempran atau samsak teman teman-nya yang badannya lebih besar. Namun siksaan teman-temannya hanya sepintas lalu ia menganggapnya tubuhnya terlalu sering disiksa hanya karena adiknya menangs ataupun ia terpaksa tertidur akibat kecapekan.
SMP dan SMA pun tidak ada perubahan yang signifikan dengan kehidupan Hudan. Yang membedakan Hudan remaja lebih berprestasi dan kelihatn kekar di balik tubuhnya yang mengkilap.
Ancaman dan teror teman kecilnya sudah berkurang malahan hampir tak pernah ia temui. Hanya sedikit pergesekan yang lumrah sesama remaja. Hudan lulus tidak mengecewakan rangking empat di sekolahanya. Hal itu membuat ia berkesempatan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri secara gratis hadiah dari sekolahnya. Ujian pun tidak ia jalani dengan mulus orang tuanya seperti tidak mengingnkan Hudan berkuliah. Tapi dengan sedidkit pemberontakan dan rayuan dari kepala sekolah akhirnya ayah hudan mengizinkan Hudan mengikuti ujian.
Dari sinilah Hudan memulai perubahannya. Di terima menjadi mahasiswa lalu ia mengkuti sebuah gerakan pembaruan kampus(itu yang ia katakan). Pernah ia terpotret wartawan dan masuk berita Koran sekali ketika ia berdemo dengan teman aktifis di kampusnya. Langsung ia mengkopi Koran tersebut lalu ia bawa pulang ke desanya dan disebar dari tetangga pak RT, RW, lurah carik hingga camt ia beri kopian Koran yang memuat gambarnya berdemo. Tak luput ia beri ke Susi bunga desa pujaannya.
Seakan gayung bersambut Koran itu pula yang menggiring kepada mertuanya. Mertuanya yang saat hudan berdemo sebagai pimpinan jawatan itu merasa risih. Denag banyak cara Hudan akan dia hentikan kalau perlu malah-malah akn di bunuh sekalian katanya.
Perjuangan calon mertua hudan tak menghasilkan apa-apa . pada akhirnya tanpa piker panjang untuk menghentiakn demo itu dia mencari pemimpin demonya, yaitu hudan. Dengan sangat terpaksa pimpinan jawatan itu menawarkan anaknya yang cantik mahasiswa satu fakultas hudan untuk dinikahkan dengan hudan dengan jaminan kedudukan di perusahaan jawatan yang ia pimpin.
Seperti di sambar petir ke idealis-an Hudan hangus begitu saja. Hanya dalam hitungan menit ia mengiyakan. Belum ada sebulan dari negosiasi terkabar Hudan sudah menikahi anak Pimpinan jawatan itu.
Yang jelas Hudan merasa bangga dan mulai membenci masa lalunya. Seakan ia melewati kentut yang tertiup angin dan melupakan Susi gadis desa pujaannya. Ayah dan keluarganya adalah masa lalu yang lewat da hanya menjadi bagian dari sejarah Hudan menantu seorang mantan pemimpin perusahaan jawatan yang telah masuk ke dalam jajaran direksi. Dan hudan menjadi salah satu pegawai perusahaan jawatan itu.
* * *
Hari pertama lepas dari masa suramnya setelah diangkat menantu seorang pemimpin perusahaan jawatan plus bonus sebagai pegawai jawatan pimpinan mertuanya. Tak banyak rekan sekerjany yang tahu kalau Hudan adalah anak mantu sang bos. Soalnya muncul pergunjingan jika pimpinan mereka telah menjual anaknya demi kepentingan diri sendiri. Rekan kerja Hudan banyak yang kaget mengetahui yang menikahi anak sang pemimpin adalah Hudan yang pemimpin pendemo dari kalangan mahasiswa yang mengatas namakan rakyat kecil. Banyak pegawai berfikir gerakan mahasiwa ini sukses akan membawa perubahan yang besar dalam tubuh perusahaan jawatan ini. Ada pula yang berdoa semoga meletus gerakan 65 kedua agar hidup lebih baik. Tapi fakta berbicara, Hudan menjadi menantu pimpinan serta menghianati perjuangan rekan-rekannya dan kecewa para direksi.
Akumulasi kekecewaan semakin menumpuk ketika para seniaor di tempat kerjanya tergusur dengan mudah seakan tak pernah ada sebelumnya. Hudan yang mantan aktifis itu seperti tidak peduli, ia melenggang begitu saja dan berlalu. Prilaku kesewenang-wenangan Hudan mulai muncul ketika memimpin rapat tingkat pimpinan bagian. Progam yang ditawarkan hudan tidak lebih baik dari yang lain
* * *
Kehidupan barunya boleh jadi normal-normal saja tak ada yang istimewa. Yang membuat lain dari yang kebiasaannya ia telah jadi orang kaya. Air tinggal putar. Tidur di kasur yang empuk bukan lagi seperti dulu harus berjalan jauh demi dua puluh lima liter air dan hilanglah bayangan bale yang penuh ketakutan. Ini ajaib menurutnya. Sangat spesial tak pernah ia bayangkan hidup ini.
Pernah sekali ia pulang kerumahnya di desa dia sudah mendapati Susi menikah dengan Kartono teman sepermainannya. Yang paling diingat dari kartono adalah pukulan membabi buta pada tubuh gilapnya. Tapi Hudan tidak mau bertemu apalagi menatapnya. Hudan meludah tept dihadapan Kartono melaui jendela mobilnya.
Di desa, Hudan pertama kali tidak menemui adik ataupun orang tuanya. Tapi malah kepala sekolahnya ketika ia SMA yang di temui dengan memberi oleh-oleh yang cukup banyak untuk ukuran desa. Di rumahnya sendiri Hudan hanya memberi uang saku adik-adiknya lalu pergi pulangt kekota dengan alasan di kota pekerjaan masih menumpuk.
* * *
Malam hari,dalam liburan panjangnya Hudan selalu duduk di atas meja tebal dari kayu jati berumur ratusan tahun yang katanya hadiah pertama yang diberikan koleganya dimasa awal dia menduduki jabatan pimpinan jawatan itu. Si Abdi selalu setia menemani denga hanya memberikan segelas besar kopi buatan istri abdi.
Sebenarnya Hudan kepada para pembantunya sangat baik malah bisa dikatakan kelewat. Atau itu merupakan sebagian dari hati kecil Hudan. Ataukah hanya apresiasi karena telah menemani hudan “bersembunyi”. Tapi Hudan tetaplah Hudan yang selalu serampang dalam menentukan sesuatu. Serasa kematian sudah mendekat ketika tak sadar ia di temukan Abdi tergeletak di bawah meja. Abdi pun menemukan botol-botol berserakan. Tidak hanya sampai itu saja malahan Hudan pernah sampai mengucurkan darah ketika ia tak sengaja kena pecahan kaca bear yang ia minum di malam hari. Hal itu pun terus terjadi dan sudah tak terhitung berapa kali ia hampir mampus karena kelakuannya sendiri.
Orang-orang kampung dekat pengsingannya hanya diam sesekali ada yang memberanikan bertanya pada Abdi. “Banyak sekali pecahan kaca dari tuanmu pa dia buat pabrik botol ya.” Dengan wajah desa dan melindungi tuannya abdi hanya bilang kucing yang menjatuhkan botol bear koleksi. Jawaban itu sebenarnya bukan murni dari si Abdi tapi hal itu seperti yang di kehendaki tuannya. Tempat pengsingan ini selau tertutup untuk masyarakat biasa. Namun Hudan selalu tersenyum manis ketika hrus berpapasan dengan warga desa setempat. Hanya pak lurah yang pernah masuk ke dalam rumah itu.
* * *
Si Abdi hanya duduk diam di pekarangan tuannya. Di terlalu takut dengan ancaman nyonya besarnya yang tadi malam datang dengan seorang teman. Katanya sih hanya menemui tuan mau diajak bicara masalah tuan muda. Kedatangan nyonya sangat mendadak. Saat si abdi baru saja datang istrinya membawakan kopi untuknya dan tuan Hudan.
Tanpa di sadari ketika Abdi meninggalkan ruangan tuanya, langkahnya terhenti oleh letusan ynag sungguh mengagetkan. Tak disangka di antara bunyi letusan pistol tiba-tiba nyonya melihat abdi yang dengan sigap langsung menuju pusat letusan dengan membawa sabitnya. Ternyata yang memegang pisto adalah seorang dekat nyonya yang mengacungkan pistolnya pada tuan. Tanpa ba, bi, bu langsung nyonya menyumpali telinga dengan ancaman-ancaman yang membuat miris dan ketakutan berlebih. Tuan terbunuh oleh istri pertamanya. Dan itulah fakta yang harus di tutupi dengan sedikit ancaman yang meneror bisa tertutupi.
Tuan tergeletak di meja. Si Abdi mulai membersihkan darah di antara meja. Berlari pun tak bisa. Di melakukan pekerjaan sebagai pembantu. Yang dilakukan cuma berdiri semeter dari meja. Sambil melihat kopi buatan istrinya yang kelihatan masih hangat.

November 2007
di muat di Gema

Selasa, 01 April 2008

KEBUDAYAAN HILANG, TANGGUNG JAWAB SIAPA?

Pecahnya G 30 S PKI membuyarkan seluruh persendian dan aspek-asapek sosio-kulktural di masayarakt Indonesia secara keseluruhan, baik kota maupun desa. Di pelosok-pelosok pedesaan hal serupa berlaku tanpa ampun. Sampai-sampai terkabar hilnagnya orang-orang yang tidak jelas dimana dan kemana.

Tidak cukup dengan hilangnya orang (nyawa) namun aspek yang menunjukkan ke khasan suatu daereah pun ikut juga menghilang. Hal ini disebabkan oleh sebuah lembaga yang menjadi organisasi sayap dari partai besar(PKI) masa ORLA yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat (selanjutnya disebut LEKRA). Dalam praktek kebudayaan yang di usung oleh Lekra adalah kebudayaan yang mengakar di kehidupan rakyat, salah satunya adalah REOG Ponorogo.

REOG digunakan Lekra sebagai alat kampanye untuk meraih pemilih sebanyak-banyaknya. Setelah pecahnya G 30 S reog di bumi hanguskan dari peredaran. Banyak dari pengurus kelompok kesenian tradisi ini mulai meninggalkan. Bahkan pernah terdengar mereka semua di cap sebagai PKI dan halal hukumnya untuk dibinasakan. Sampai-sampai banyak REOG yang dibakar, dikubur dan jika beruntung di antara para seniaman REOG melarikan diri baik di daerah lain di Indonesia tercinta maupun ke Mancanegara(seperti Malaysia). Dari sinilah yang nanti akan menimbulkan polemik baik dalam maupun luar negeri.


span="" class="fullpost"> Reog yang jelas-jelas kesenian yang mengakar di daerah Ponorogo seakan luruh dan telah menjadi kesenian suatu daerah dii Malaysia(tepatnya penulis lupa). Hal ini merupakan pukulan yang sangat telak yang pernah terjadi bagi warga pemiilk sah dari kebudayaan Reog.

Jika di telusuri lebih dalam, hal ini tidak lepas dari kongres dalam menentukan kebudayaan Indonesia itu seperti apa. Ki Hajar Dewantoro menyatakan kebudayaan Indonesia adalah puncak-puncak dari kebudayaan daerah. Hal ini tidak berlaku untuk REOG Ponorogo yang Notabene merupakan identik dengan Lekra. Alasan ini lah yang menyebabkan Reog tidak bisa menjadi puncak kebudayaan daerah. Celah inilah kelak di gunakan oleh Malaysia mengakusisi paksa, di tambah banyknya warga keturunan Ponorogo (pelarian) banyak berdomisili di negeri yang mengaku serumpun itu.

Warga keturunan ini sanggat rindu akan kebudayaan yang ia banggakan, hingga pada akhirnya memtusakan untuk membuat pementasan REOG di Malaysia. Sebenarnya pengembalian citra Reog telah dilakukan pada masa ORBA. Namun sama halnya PKI masa ORLA di Masa ORBA semua reog yang ada di Ponorogo berwarna Kuning(sebut saja di Golkar-kan) sebagai ganti dari pengembalian citra dan pembersihan nama para petinggi REOG.

Ironis memang sebuah kebudayaan yang tak ternilai harganya harus selalu menjadi bulan-bulanan partai-partai demi kekuasaan. Semakin di perparah dengan keacuhan para pemuda dalam hal pelestarian (yang mengatakan Kuna) menjadi alasan klasik. Semakin diperparah dengan perampasan kebudayaan secara paksa yang dilakukan negeri tetangga Malaysia menjadikan pemilik sah warga asli maupun keturunan Ponorogo mengalami kegelisahan memeuncak.

Peristiwa yang memalukan kedaulatan bangsa ini seharusnya tidak usah mencari kambing hitam siapa penyebabnya. Namun, menurut hemat saya bisa di jadikan sebuah pelajaran. Dan jika boleh mengutip tulisan Prof. Budi Darma hal ini bisa di sebut musibah peringatan mengenai pentingnya menjaga kebudayaan yang menjadi Tanggung Jawab umat manusia.

Tanpa mengecilkan perannya dalam masyarakat, dimanakah posisi Mahasiswa(pemuda) sebagai pewaris sah dari kebudayaan Nusantara. Akhirnya sebagai pewaris sah kebudayaan penulis hanya bisa berucap “dengan menyebut nama Tuhanmu” semoga kita tidak mendapat Hukuman.

Wallahua ‘lam

Surabaya, 29 Februari 2008