Selasa, 28 Oktober 2008

STA dan Novel-novelnya


IGNAS KLEDEN

Pada 29 Mei 2008 Akademi Jakarta menyelenggarakan STA Memorial Lecture di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Salah satu pemberi kuliah adalah Ignas Kleden, khusus menyoroti Sutan Takdir Alisjahbana dengan novel-novelnya. Novel Kalah dan Menang tidak dimasukkan ke dalam pembahasan di sini karena penulis belum selesai membacanya ketika menulis esai ini. Lembar Bentara menyiarkan kuliah Ignas tersebut dalam dua penerbitan. Bagian pertama pada terbitan hari ini. Bagian kedua pada terbitan Agustus. Untuk keperluan penerbitan ini, semua anotasi dihilangkan.

Tahun 1950 Asrul Sani mengajukan kritik bahwa Sutan Takdir Alisjahbana (seterusnya: STA) adalah seorang guru dengan banyak jasa, tetapi kedudukannya secara artistik tidak kita ketahui. Posisi dan pendirian kesenian STA tidak begitu jelas, tidak sejelas pendiriannya tentang pendidikan dan kebudayaan misalnya.

Asrul memang agak berlebihan karena pendirian STA tentang sastra sangat jelas dalam esai-esainya, misalnya dalam pandangan yang secara kategoris membedakan puisi lama dan puisi baru; tetapi pendirian itu tidak begitu jelas kalau diimplementasikan dalam karya sastra yang dihasilkannya sendiri, khususnya dalam penulisan novel.

Berulang kali dikatakan bahwa sastra tidaklah bisa bermewah-mewah dengan keindahan untuk mencapai kepuasan seseorang dalam mencipta, tetapi harus dilibatkan secara aktif dalam seluruh pembangunan bangsa, meskipun kata pembangunan itu sendiri belum banyak digunakan pada masa STA memaklumkan pendirian-pendiriannya.

Dalam esai yang sama Asrul juga menulis bahwa STA termasuk dalam generasi yang sibuk dengan kesusastraan amtenar. Dikatakan secara sosiologis, STA hanya memerhatikan kesusastraan kelas menengah yang dipenuhi para guru, dokter, wedana, gadis cantik, dan barangkali juga mertua yang kaya dan memaksakan kehendak.

Pernyataan-pernyataan Asrul tersebut seakan meramalkan masa depan penulisan novel STA, tetapi tidak seluruhnya benar kalau kita mengikuti penulisan novel STA semenjak awal. Perlu ditambahkan bahwa apa yang tak seluruhnya benar ini tidak hanya berlaku bagi pernyataan Asrul, tetapi juga pada pernyataan-pernyataan STA sendiri. Kalau sastra dan seni umumnya dianggap harus membuat orang lebih optimistis dan menghadapi kehidupan dengan semangat juang yang tinggi untuk mengatasi berbagai masalah dan situasi kritis, maka keinginan STA tersebut tidak juga terlihat pada beberapa novelnya.

Dalam novel Tak Putus Dirundung Malang, misalnya, kita bertemu dengan dua bersaudara, Mansur dan Laminah, yang sepanjang hidupnya selalu mengalami kesulitan dan nasib sial, dan seakan keduanya tak berdaya mengatasi kesialan tersebut. Kesulitan-kesulitan dilukiskan sebagai kondisi-kondisi obyektif yang tidak bisa diatasi oleh keduanya dengan kemauan dan kekuatan sendiri. Novel ini bertentangan dengan keinginan STA karena cenderung memperlemah semangat, membuat orang mengucurkan air mata, tetapi tidak melecut orang untuk berjuang dengan gembira menghadapi dunia.

Juga, ini bukanlah novel yang melukiskan dunia amtenar, tetapi dunia orang-orang kecil yang terlunta-lunta nasibnya, tanpa kesempatan untuk menaiki tangga mobilitas sosial yang menjadi ciri utama dari kehidupan kelas menengah.

Kecenderungan STA seperti ini terlihat juga dalam novel Dian yang Tak Kunjung Padam. Ini cerita tentang romantisisme si pungguk merindukan bulan. Tema utama adalah masalah yang muncul dari jarak sosial karena perbedaan keturunan, perbedaan kota desa, dan perbedaan kelas ekonomi. Novel ini pun penuh dengan suasana sedih diselang-selingi peristiwa-peristiwa melodramatis.

Novel lainnya berjudul Anak Perawan di Sarang Penyamun berisi cerita yang secara psikologis hampir mustahil karena seorang anak dara ditangkap dan dibawa ke teratak penyamun setelah orangtuanya dirampas hartanya dalam suatu perjalanan. Ayah gadis itu, Haji Sahak yang kaya, mati dalam perampokan itu, dan ibunya yang selamat menjual rumahnya yang besar di Pagar Alam, dan kemudian hidup miskin di sebuah pondok di ujung kampung.

Setelah suatu perampokan yang gagal dan menewaskan beberapa rekannya, kepala penyamun itu, Medasing, dapat diyakinkan oleh si Sayu, gadis itu, untuk pulang ke Pagar Alam dan hidup sebagai orang baik-baik. Ibu Sayu meninggal ketika berjumpa lagi dengan anaknya itu, dan cerita tidak diteruskan sampai tiba-tiba pembaca diberi tahu bahwa Pagar Alam diperintah oleh seorang hartawan yang bijaksana dan istrinya yang cantik jelita dan pemurah. Hartawan tersebut adalah Medasing, bekas kepala penyamun, dan istrinya tentulah Sayu, perempuan yang termasyhur kecantikannya di seluruh Pagar Alam.

Hal yang tak meyakinkan ialah bahwa selama berada dengan para penyamun di teratak mereka di tengah hutan rimba, Sayu, dara yang jelita itu, tak sedikit pun menarik hati para penyamun itu, kecuali informan yang bolak-balik dari desa ke hutan untuk memberi kabar tentang orang kaya yang akan lewat dan dapat dijadikan mangsa perampokan. Pengarang memberi keterangan bahwa para penyamun itu terlalu lama hidup di hutan, hampir tak mengenal perempuan, dan perhatian mereka hanya tertuju kepada pembinaan tenaga fisik untuk menyabung nyawa dalam tiap perampokan. Inilah sebabnya, mereka tidak belajar tertarik kepada seorang wanita selagi berada di rimba.

Dapat dipastikan bahwa ketika menulis novel tersebut, STA belum banyak membaca buku-buku psikologi, khususnya psikologi yang menyangkut kehidupan seksual. Pengarang tampaknya belum mengenal teori-teori Freud, yang menjelaskan bahwa dorongan seksual bukanlah sesuatu yang dipelajari dari masyarakat, tetapi berasal dari suatu tenaga yang disebut ID, yang tumbuh bersama kematangan psikofisik seorang individu. ID tidak bersifat baik atau buruk dan sering bekerja secara tidak disadari oleh manusia.

Masyarakat dan norma-normanya menjadi SUPEREGO, yang harus menjaga agar tenaga tersebut tidak merusak kehidupan EGO. Dengan demikian, mengatakan bahwa para penyamun itu tidak tertarik kepada gadis jelita, Sayu, karena berada jauh dari masyarakat adalah keterangan yang tidak meyakinkan secara psikologis karena ID sebagai energi selalu aktif apakah seorang berada di desa, di kota, di hutan rimba, dan bahkan kalau seorang berada seorang diri di kamar atau di tepi pantai.

Kalau novel ini bermaksud mendidik pembaca agar menghormati kaum perempuan, maka inilah contoh soal tentang pendidikan yang memberikan ilusi karena tidak berdasarkan pada kenyataan dan hanya berdasarkan angan-angan pengarang yang tidak bisa dibenarkan dalam kehidupan manusia.

Ketiga novel tersebut rupanya ditulis ketika paham STA tentang sastra yang mendidik belum matang dalam pemikirannya. Ketiga novel itu adalah sanggahan dalam praktik literer terhadap apa yang dikehendaki oleh STA tentang peran sastra dan seni dalam mendidik masyarakat, dan menyanggah pula kritik Asrul Sani bahwa novel-novel STA adalah sastra amtenar, sastra kelas menengah, atau sastra borjuis.

Sifat amtenar dalam novel STA baru muncul dalam novel Layar Terkembang karena lingkungan tempat cerita itu bermain adalah lingkungan amtenar. Tokoh utama cerita itu adalah sepasang gadis bersaudara bernama Tuti dan Maria, anak bekas wedana Banten, Raden Wiraatmaja, yang melewatkan masa pensiunnya di Jakarta. Maria adalah siswa HBS dan Tuti sudah bekerja dan aktif sebagai orang pergerakan yang turut memimpin organisasi perempuan bernama Puteri Sedar. Lingkungan pergaulan mereka adalah siswa dan guru-guru Belanda di satu pihak dan orang-orang pergerakan di lain pihak.

Maria jatuh cinta kepada Yusuf, seorang mahasiswa kedokteran di Jakarta, yang sedang menyiapkan ujian doktoralnya. Ayah Yusuf adalah demang Munaf di Martapura di Sumatera Selatan. Maria, gadis santai yang agak manja, suka akan kembang dan tanam-tanaman, membaca buku-buku tentang cinta, dan gemar akan baju-baju bagus yang dipilih dengan selera tinggi. Tuti, kakaknya, tampil sebagai perempuan intelektual yang sibuk dengan buku-bukunya, tegas dalam sikap-sikapnya, dan terlibat aktif dalam pergerakan untuk memajukan kaum perempuan.

Yusuf memang jatuh cinta kepada Maria dan keduanya saling merindukan setiap saat. Meski demikian, dia sangat menghormati dan mengagumi pikiran dan pendirian Tuti, serta terkesan oleh sikapnya yang pasti dan penuh komitmen kepada cita-cita kaum perempuan.

Munculnya Yusuf dalam kehidupan dua gadis bersaudara itu menimbulkan efek berbeda. Maria merasa menemukan lelaki idamannya, dan tanpa ragu bersedia menyerahkan diri sebagai istrinya, apabila pelajaran keduanya telah selesai. Tuti dalam pada itu tetap dengan kesibukan dan cita-citanya, tetapi pada waktu-waktu tertentu merasa terganggu juga oleh kemesraan yang diperlihatkan Maria dan Yusuf.

Betapa pun pengarang terlihat sangat mengunggulkan Tuti, pada akhir cerita ternyata Tuti dapat ditaklukkan oleh tuntutan cinta ketika Maria yang mengidap penyakit TBC yang tak dapat disembuhkan menyampaikan amanat kepada Tuti dan Yusuf agar keduanya jangan mencari peruntungan pada orang lain, tetapi saling menerima sebagai pasangan yang saling mencintai.

Akhir cerita ini menimbulkan beberapa pertanyaan. Kepada pembaca tidak dijelaskan bagaimana Tuti yang keras hati dapat dengan mudahnya menerima permintaan adiknya untuk menjadi calon istri Yusuf dan apakah Tuti yakin kalau setelah menikah nanti, Yusuf masih menghormati cita-cita dan perjuangannya untuk kaum perempuan.

Hal ini perlu dipertanyakan karena masalah inilah yang menyebabkan Tuti telah menolak cinta dua laki-laki sebelumnya. Demikian pula Yusuf, apakah dia menerima Tuti karena menghormati permintaan Maria atau semata-mata karena merasa kasihan kepada Tuti? Ataukah sudah semenjak awal hatinya terbelah dua antara Maria dan Tuti meskipun hal ini tak terlihat dalam teks-teks novel ini?

Akhir cerita memang mengharukan, tetapi pertanyaan-pertanyaan tersebut tak memperoleh jawabannya. Akibatnya, ketika layar itu terkembang, tidak jelas pula apakah yang terkembang adalah cinta antara laki-laki dan perempuan ataukah terkembang cita-cita tentang meningkatnya martabat kaum perempuan yang dengan gigih diperjuangkan Tuti sebelumnya.

Dari sastra amtenar dalam Layar Terkembang STA meningkat menulis sastra yang benar-benar borjuis dalam Grotta Azzurra. Ini novel tentang orang-orang yang tidak pernah lagi mengalami persoalan uang dan masalah basic needs, tetapi yang tiap hari berdiskusi tentang berbagai topik politik, seni, filsafat, dan pandangan hidup di kota-kota di Eropa. Diskusi berlangsung dalam perjalanan wisata, atau di rumah seorang kenalan dengan makanan berlimpah disertai berbagai jenis anggur, di restoran hotel-hotel berbintang, atau di sebuah galeri tempat para pelukis memamerkan lukisan-lukisan.

Tokoh utama dalam novel ini adalah Ahmad, seorang pelarian politik anggota Partai Sosialis Indonesia, yang terlibat dalam pemberontakan melawan pemerintahan Soekarno, dan kemudian bertahan hidup di kota Roma dengan bekerja pada sebuah pabrik mobil. Dia berkenalan dengan Mercelin Janet, seorang perempuan 35 tahunan, berasal dari Paris, anak seorang profesor kesenian antik dan Abad Pertengahan. Keduanya berkenalan dengan dua orang lainnya, yaitu Conrad Weber, profesor ilmu politik dari Frankfurt, dan Evelin Turner, seorang perempuan Amerika, yang bekerja untuk tentara Amerika pada dinas hubungan tentara dan masyarakat di Frankfurt.

Ahmad dan Janet bertemu secara kebetulan ketika mereka naik kapal dari Sorrento ke Pulau Capri untuk melewatkan liburan di sana. Perkenalan mereka menjadi lebih dekat ketika keduanya mengunjungi sebuah goa yang terkenal karena airnya yang berwarna seperti zamrud hijau biru. Nama novel itu diambil dari goa itu yang dinamakan Grotta Azzurra (goa biru). Kisah cinta antara Ahmad dan Janet memang berkembang, bersama dengan hubungan yang semakin mesra antara Conrad dan Evelin.

Hal yang mengganggu ialah bahwa entah di Pulau Capri, di Napoli dan Firenza, atau di Frankfurt dan Lindau, kisah mereka bagaikan hanya sampiran untuk hal yang lain sama sekali, yaitu diskusi-diskusi yang panjang dan berlarut-larut tentang sejarah para kaisar Roma, tentang kesenian Romawi kuno, kemudian tentang partai komunis Italia dan peranan politiknya, tentang seni renaisans dan seni modern, tentang seks bebas dan perkawinan, tentang emansipasi perempuan dan agama, atau tentang perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Abad Pertengahan dan di zaman modern.

Memang mengagumkan melihat bagaimana pengarang menyiapkan diri dan bahan-bahannya tentang berbagai soal itu. Akan tetapi, soal-soal itu ditonjolkan sedemikian rupa sehingga seakan-akan menjadi kuliah privat yang diberikan oleh Janet kepada Ahmad atau Evelin kepada Janet atau Ahmad kepada Conrad. Lingkungan sekitarnya menjadi tidak penting. Akibatnya, kalau kita membuang semua tempat itu dari teks, maka diskusi-diskusi itu tetap berjalan dengan baik.

Sebagai contoh saja, di Pulau Capri hanya diceritakan tentang hotel tempat Ahmad dan Janet menginap, tentang pemandangan-pemandangan indah yang membangkitkan lagi hasrat melukis Janet yang telah mati bertahun-tahun, dan kemudian tentang diskusi-diskusi keduanya. Tak sepatah kata pun diceritakan kehidupan penduduk di Italia selatan yang terkenal miskin, dan bagaimana penduduk di sana berjuang untuk mempertahankan hidup mereka.

Demikian pun Ahmad diceritakan sudah mempunyai istri dan tiga orang anak, dan keluarganya inilah yang menjadi ikatan yang membuatnya selalu ragu untuk mengikat dirinya dengan Janet dalam hidup bersama di kota Paris, sebagaimana diinginkan oleh Janet, tetapi tidak kesampaian. Sayangnya, kita tak diberi informasi apa pun tentang keluarganya ini di Indonesia: apakah istrinya bekerja atau tidak, berapa usia anak-anaknya, apakah mereka anak laki atau perempuan, dan apakah mereka masih mengingat nama dan wajah ayah mereka. Bahkan nama istrinya pun tidak kita ketahui.

Ini bukanlah suatu strategi dalam bercerita, tetapi lebih merupakan kealpaan pengarang yang hanya sibuk dengan ide-idenya dan menjadikan semua konteks tidak sebagai setting cerita, tetapi hanya sebagai back drop yang boleh dibongkar pasang setiap waktu tanpa mengganggu jalannya diskusi.

Memang beberapa kritikus menamakan novel ini novel ide, tetapi persoalannya apakah ide itu digarap di sebuah ruang kuliah, dalam seminar akademis, atau dalam sebuah cerita. Di sinilah kesulitannya. Hal ini tidak diperhatikan dan bahkan tidak dipedulikan oleh pengarang. Akibatnya, buku ini akan berguna dan mengasyikkan kalau dibaca sebagai sebuah buku pengantar pelajaran tentang berbagai soal, tetapi susah dibaca sebagai sebuah novel yang menarik.

IGNAS KLEDEN Sosiolog
KOMPAS, 11 juli 2008

Anugerah Pena Kencana; oleh

SETELAH buku Anugerah Sastra Pena Kencana 2008 (cerpen dan puisi) dilepas di pasar, kedua buku itu langsung menuai kritik. Setumpuk kritik tersaji di milis-milis. Belum lagi pesan pendek yang beredar melalui handphone ke handphone. Intinya, kalau tidak mempertanyakan ya menghujat cara penjaringan dan penilaian --termasuk kepada dewan juri dan panitia yang karyanya masuk dalam buku.

Pemberian anugerah karya sastra di Tanah Air bukan kali ini saja yang panen kritik, tapi sudah berulang-ulang seiring bergulirnya anugerah. Contoh yang sangat dekat ialah KLA (Katulistiwa Literary Award), SEA Write Award, dan sebagainya.

Tradisi kritik memang sudah mendarah daging di negeri ini. Tetapi, ''tradisi'' tersebut muncul tersebab ''budaya'' kita juga yang kerap abai pada aturan-aturan yang telah disepakati. Atau longgar dan menyepelekan persyaratan yang sudah diteken; aji mumpung dan menganggap masyarakat dapat ''dipaksa'' untuk menyetujui setiap keputusan yang diambil.

Sampai kini KLA tak sepi oleh kritik. Misalnya, soal penjurian tingkat awal untuk ''memburu'' buku-buku sastra di toko buku (konon, prioritas TB Gramedia) yang ada di Jakarta. Mereka ''dimodali'' untuk membeli sejumlah buku, kemudian mengajukan judul buku yang dipilihnya untuk mengikuti penyaringan.

Sampai di sini, kelihatannya tak ada masalah. Pertanyaan pun lalu muncul: siapa (mereka) yang dipercaya penyelenggara untuk memburu buku sastra? Berapa ''modal'' yang diberikan kepada mereka dan dengan modal itu berapa buku yang harus dibeli dan dibaca. Apakah panitia mengaudit modal dan buku yang dibeli? Sikap ''saling percaya'' rasanya tidak tepat dilakukan di sini.

SEA Write Award yang ditaja Pusat Bahasa juga tak terelakkan menuai kritik. Bahkan acap sulit diterima akal, kenapa si Fulan mendapat SEA Write Award tahun ini dan mengapa si Bolan yang nyata-nyata buku-buku karyanya --secara kuantitas dan kualitas-- dapat dipertanggungjawabkan, justru tidak terpilih? Sebab itu, SEA Write Award lalu dianggap ''anugerah arisan'' karena memang yang sudah pernah mendapat tidak akan mendapat lagi. Seorang teman tatkala memeroleh anugerah itu, melalui pesan pendek, dengan gurau berujar: ''Kali ini giliran aku yang mendapat arisan.''

Itulah sedikit gambaran fenomena award-award di ranah sastra Tanah Air. Sebenarnya masih banyak, termasuk Ahmad Bakrie Award, Akademi Jakarta, dan seterusnya. Pemberian anugerah sama tipisnya dengan penetapan sastrawan yang (akan) diundang ke luar negeri: sama-sama berisiko dikritik dan sama-sama ''bermain''.

Ya! Bicara soal ''bermain'' memang kehidupan ini adalah permainan. Karena permainan, lakoni saja dengan penuh keriangan. Dengan kata lain, gak usah serius amat, bermain-main saja, santai. Meminjam moto konco-konco di KoBer (Komunitas Berkat Yakin): rock n roll hahaha.

Lalu, apakah karya sastra bukan lahir dari keseriusan? Soal ini, siapa pun setuju 100 persen. Antara karya sastra dan penilaian award acap tak dapat dicari titik temu dan titik tujunya. Lha wong sekelas Nobel saja tak bebas kritik, kok.

Aturan-aturan dalam penentuan suatu pilihan dibuat sangat ideal. Tetapi, seideal apa pun tetap punya celah untuk ''dimainkan'', lalu jadi ''ketetapan baru''. Undang-undang, AD-ART, dan apa pun namanya selagi yang buat manusia, ia punya ruang untuk dilanggar.

Demikian pula dengan Anugerah Sastra Pena Kencana (ASPK) 2008. Setahu saya dari milis-milis, puisi-puisi Joko Pinurbo -penyair yang juga salah seorang dewan juri ASPK-- melanggar deadline antara pemuatan di koran dan kesepakatan dalam penjurian (Maafkan kalau apa yang saya kemukakan ini salah).

Tulisan ini tak akan jauh memasuki masalah puisi-puisi Jokpin. Saya --dan barangkali banyak pembaca sastra-- hanya mempertanyakan kepatutan apa sehingga para juri juga berhak menilai karyanya? Pertanyaan ini kita sempitkan saja: pantaskah juri merangkap menjadi peserta, meskipun berdalih juri tersebut tak ikut menilai ketika karyanya diajukan; artinya juri-juri lain yang menilai, dan seterusnya.

Kelihatannya tak ada masalah. Namun, sesungguhnya di situlah masalahnya. Analoginya demikian: puisi Fulan (bukan juri) dinilai oleh seluruh juri, sedangkan puisi Bolan (kenetulan juga menjadi juri) dinilai juri lain (minus dirinya). Kenetralan dirinya --kalau mau dikatakan netral-- sekaligus berpihak. Betapa tidak, ketidakikutsertaan dalam menentukan karyanya sendiri, sesungguhnya ia sudah memberi nilai pada karyanya. Tinggal teman-teman jurinya yang lain yang memberi bobot atas karyanya. Adilkah itu, dan di mana keadilannya?

Lalu, kritik yang juga meruak adalah ihwal karya-karya dari panitia yang lolos dalam buku tersebut. Rupanya panitia juga tak hendak dipisahkan dirinya sebagai kreator. Karena itu, dia ''minta keadilan'' agar karyanya ikut dalam bursa pemilihan. Soal ini juga kelihatannya tidak bermasalah. Para panitia akan berdalih: sebagai sastrawan karya kami juga punya hak untuk dinilai, dan jangan dikaitkan statusnya sebagai kreator dan bagian dari penyelenggara. Jika dalih ini terus dipelihara, bisa sangat berbahaya. Bagaimanapun kedekatan emosional antara panitia, juri, dan sebagai kreator tidak bisa dianggap sepele.

Kritik lain, saya pernah dikirimi pesan pendek dari seorang sastrawan Riau. Ia meragukan keakuratan saat perekrutan karya-karya yang terpublikasi setahun berjalan itu dari bebagai koran di sejumlah kota di Tanah Air. Pasti ada yang luput. Ia ambil gampang saja. Satu koran akan menurunkan beberapa puisi dan satu cerpen setiap pekan. Dikalikan setahun, jadilah 48 kali terbit (tak termasuk hari libur yang mungkin bertetapan pada Minggu). Lalu dikalikan minimal 5 puisi atau 7 puisi. Jadi, untuk satu koran saja, setahun bisa menginventarisasi sedikitnya 240 puisi. Nah, berapa koran yang ditelisik panitia ASPK? Dan, apakah setiap pekan dari media-media yang ditetapkan panitia tersebut dijamin tidak akan luput dari penyaringan panitia?

Seorang penyair lain berkelakar, ASPK tak lebih hanyalah ''permaianan''. Ia sepakat dengan contoh-contoh seperti yang sudah dikemukakan di atas. Itu sebabnya, teman penyair itu --kebetulan karyanya masuk dalam 100 Puisi Pilihan ASPK 2008 mengaku tak tetarik mengikuti babak pilihan pembaca buku itu melalui SMS (short message system).

Dari awal saja sudah permainan, karena itu tak perlu serius-serius amat, teman penyair itu menegaskan. Sebab, kalau kita mau ikut dalam permainan itu, kudu punya modal.

Sampai di sini, kita berkalkulasi dengan modal. Harga buku karya ASPK 2008 Rp 50 ribu per eksemplar. Sekiranya memiliki modal Rp 30 juta, kita akan mengantongi minimal 600 suara. Kalau menang, masih untung Rp 20 juta. Sebab, pemenang anugerah ini mendapatkan Rp 50 juta. Lumayan kan? Namun, dengan perolehan suara yang cuma 600 itu belum apa-apa. Posisinya masih gambling. Karena itu, perlu siasat lainnya: mengontak saudara, teman, kolega, dan seterusnya agar bersedia memberi dukungan.

Mari berandai-andai. Penyair Fulan kebetulan seorang karyawan (lebih baik lagi karyawan yang memunyai jenjang komando semisal di kepolisian atau TNI). Penyair yang karyawan itu bisa mengerahkan konco-konconya untuk membeli 1 atau 2 eksemplar buku lalu mengirimkan SMS dengan memilih puisi Fulan sebagai puisi terbaik.

Apabila dalam satu instansi saja, si Fulan bisa mendapatkan 300 orang pendukung, sudah lebih dari lumayan suara terkumpulkan, yakni 600 suara. Belum lagi, teman dari keluarganya yang kebetulan juga karyawan di instansi lain. Dan, akan lebih menguntungkan jika penyair Fulan bekerja di suatu instansi yang garis komandonya kuat. Ia cukup ''memerintahkan'' juniornya dan ''merayu'' seniornya untuk membeli buku dan mengirim SMS dukungan ke panitia!

Maka, penetapan ASPK memang bukan diukur sebagai prestasi. Tetapi, sekali lagi, cumalah permainan --seperti juga permainan dalam Akademi Fantasi Indonesia (AFI) di Indosiar dulu.

Kecuali kelalaian panitia, kalau saya tidak salah, antara perolehan suara untuk Inggit Putria Marga dan Dahta Gautama (juga Jimmy Maruli Alfian, ketiganya dari Lampung), mestinya Dahta berada di atas Inggit. Selebihnya, untuk apa kita sikapi secara serius final Anugerah Pena Kencana? Ya, anggaplah ini sebuah permainan, maka gak usah serius amat! Lalu lupakan, tapi tetap berkarya dan mengharap-harap pada ASPK jilid 2 nanti karya kita masuk nominie pemenang dan dibukukan. Syukur kalau kemudian karya kita dipilih pembaca sebagai karya terbaik dan memeroleh hadiah Rp 50 juta. Wah, bisa bikin rumah baru atau naik kuda nipon. (*)

Lampung, 2 Oktober 2008; 00.42

Minggu, 12 Oktober 2008

Lomba Puisi Sumpah Pemuda dan Rembug Budaya Metropoli 2008

Lomba puisi dan esai pemuda yang diadakan Perhimpunan Indonesia Tionghoa ''INTI'' Jatim masih memberikan kesempatan kepada para pelajar dan mahasiswa di Jawa Timur untuk mengirimkan naskahnya. Pengiriman naskah paling lambat 18 Oktober mendatang (stempel pos), di Sekretariat INTI: Sekretariat INTI, Jl Karet 21-23 Surabaya, telp. 031-3521569, faks. 031-3532762. ''Naskah peserta terus berdatangan, baik puisi maupun esai. Tapi, bagi yang belum sempat mengirim, masih ada waktu hingga 18 Oktober nanti,'' ungkap Lan Fang, panitia.

Lomba penulisan puisi dan esai pemuda itu dalam rangka peringatan 80 Tahun Sumpah pemuda. Lomba khusus pelajar dan mahasiswa itu (naskah dilampiri fotokopi kartu pelajar atau kartu mahasiswa) sudah dimulai awal September lalu. Karya harus orisinal dan belum pernah dipublikasikan. Untuk cipta puisi, naskah rangkap tiga dengan format bebas. Sedangkan untuk naskah esai, maks. 5.000 karakter, huruf times new roman 12 dengan spasi 1/5, dikirim rangkap tiga. Naskah akan dinilai juri Sapardi Djoko Damono dan Budi Darma. Juara I-III puisi mendapatkan hadiah Rp 1,5 juta, Rp 1 juta, dan Rp 750 ribu. Sedangkan juara I-III esai mendapatkan hadiah Rp 2,5 juta, Rp 2 juta, dan Rp 1,5 juta.

INTI juga mengadakan lomba futsal untuk pemuda. Lomba akan dilangsungkan 19 Oktober 2008 di Gedung Serbaguna KEP Pantai Ria Baru Kenjeran, Surabaya. Hadiah yang disediakan total Rp 6,5 juta. Info lebih lanjut hubungi panitia di 08175283993. (*/ari)

Sedangkan Rembug Budaya Metropoli 2008

Yayasan Metropoli Indonesia (YMID) menggelar ''Rembug Budaya Metropoli 2008'' di Dusun Tanah Lengis, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Karangasem, Bali, 18-21 Oktober. Rembug budaya akan dibuka bupati Karangasem pada 18 Oktober pukul 09.00. Ada pentas seni spiritual ''Panedeng Masa Kartika'' dari Saraswati Mahapradnya Saren; launching Majalah Wali; dan pentas Tari Janger Anak-anak dari Linggasana, Bebandem. Juga ada Pentas Gong Kebyar Anak-anak Dusun Umanyar, Ababi; drama tradisional Arja Men Brayut; lomba melukis dan Nyurat Aksara Bali; serta sarasehan budaya dengan pembicara pelukis Made Budhiana.

Pada hari kedua (19/10) diadakan lomba Gong Kebyar Anak-anak (6 grup), kampanye sampah plastik dan lingkungan, dan pemutaran film Bali Tempoe Doeloe. Pada hari ketiga (20/10) diselenggarakan lomba Tari Margepati dan Puspawresti, atraksi Tabuh Gender Anak-anak (Banjar Abianjero, Gunaksa, Umanyar), dan pentas Gambuh Anak-anak Saraswati Mahapradnya dengan lakon Calonarang. Sedangkan penutupan (20/10) akan diramaikan atraksi Yoga Asana Banjar Tanah Lengis, potong tumpeng ulang tahun YMID, dan pengumuman lomba.

Untuk informasi hubungi telp./fax. (0363) 22600 atau 081337143228, 081338084585. Email: director@metropolifoundation.org (Ni Made Sudani), myjengki@yahoo.com (Wayan Sunarta). (*/ari)