Selasa, 01 April 2008

KEBUDAYAAN HILANG, TANGGUNG JAWAB SIAPA?

Pecahnya G 30 S PKI membuyarkan seluruh persendian dan aspek-asapek sosio-kulktural di masayarakt Indonesia secara keseluruhan, baik kota maupun desa. Di pelosok-pelosok pedesaan hal serupa berlaku tanpa ampun. Sampai-sampai terkabar hilnagnya orang-orang yang tidak jelas dimana dan kemana.

Tidak cukup dengan hilangnya orang (nyawa) namun aspek yang menunjukkan ke khasan suatu daereah pun ikut juga menghilang. Hal ini disebabkan oleh sebuah lembaga yang menjadi organisasi sayap dari partai besar(PKI) masa ORLA yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat (selanjutnya disebut LEKRA). Dalam praktek kebudayaan yang di usung oleh Lekra adalah kebudayaan yang mengakar di kehidupan rakyat, salah satunya adalah REOG Ponorogo.

REOG digunakan Lekra sebagai alat kampanye untuk meraih pemilih sebanyak-banyaknya. Setelah pecahnya G 30 S reog di bumi hanguskan dari peredaran. Banyak dari pengurus kelompok kesenian tradisi ini mulai meninggalkan. Bahkan pernah terdengar mereka semua di cap sebagai PKI dan halal hukumnya untuk dibinasakan. Sampai-sampai banyak REOG yang dibakar, dikubur dan jika beruntung di antara para seniaman REOG melarikan diri baik di daerah lain di Indonesia tercinta maupun ke Mancanegara(seperti Malaysia). Dari sinilah yang nanti akan menimbulkan polemik baik dalam maupun luar negeri.


span="" class="fullpost"> Reog yang jelas-jelas kesenian yang mengakar di daerah Ponorogo seakan luruh dan telah menjadi kesenian suatu daerah dii Malaysia(tepatnya penulis lupa). Hal ini merupakan pukulan yang sangat telak yang pernah terjadi bagi warga pemiilk sah dari kebudayaan Reog.

Jika di telusuri lebih dalam, hal ini tidak lepas dari kongres dalam menentukan kebudayaan Indonesia itu seperti apa. Ki Hajar Dewantoro menyatakan kebudayaan Indonesia adalah puncak-puncak dari kebudayaan daerah. Hal ini tidak berlaku untuk REOG Ponorogo yang Notabene merupakan identik dengan Lekra. Alasan ini lah yang menyebabkan Reog tidak bisa menjadi puncak kebudayaan daerah. Celah inilah kelak di gunakan oleh Malaysia mengakusisi paksa, di tambah banyknya warga keturunan Ponorogo (pelarian) banyak berdomisili di negeri yang mengaku serumpun itu.

Warga keturunan ini sanggat rindu akan kebudayaan yang ia banggakan, hingga pada akhirnya memtusakan untuk membuat pementasan REOG di Malaysia. Sebenarnya pengembalian citra Reog telah dilakukan pada masa ORBA. Namun sama halnya PKI masa ORLA di Masa ORBA semua reog yang ada di Ponorogo berwarna Kuning(sebut saja di Golkar-kan) sebagai ganti dari pengembalian citra dan pembersihan nama para petinggi REOG.

Ironis memang sebuah kebudayaan yang tak ternilai harganya harus selalu menjadi bulan-bulanan partai-partai demi kekuasaan. Semakin di perparah dengan keacuhan para pemuda dalam hal pelestarian (yang mengatakan Kuna) menjadi alasan klasik. Semakin diperparah dengan perampasan kebudayaan secara paksa yang dilakukan negeri tetangga Malaysia menjadikan pemilik sah warga asli maupun keturunan Ponorogo mengalami kegelisahan memeuncak.

Peristiwa yang memalukan kedaulatan bangsa ini seharusnya tidak usah mencari kambing hitam siapa penyebabnya. Namun, menurut hemat saya bisa di jadikan sebuah pelajaran. Dan jika boleh mengutip tulisan Prof. Budi Darma hal ini bisa di sebut musibah peringatan mengenai pentingnya menjaga kebudayaan yang menjadi Tanggung Jawab umat manusia.

Tanpa mengecilkan perannya dalam masyarakat, dimanakah posisi Mahasiswa(pemuda) sebagai pewaris sah dari kebudayaan Nusantara. Akhirnya sebagai pewaris sah kebudayaan penulis hanya bisa berucap “dengan menyebut nama Tuhanmu” semoga kita tidak mendapat Hukuman.

Wallahua ‘lam

Surabaya, 29 Februari 2008


Tidak ada komentar: