Senin, 09 Juni 2008

Pertemuan dengan penari kecil di stasiun kereta tua

Pertemuan dengan penari kecil di stasiun kereta tua. Saya terpaksa menoleh memperhatikan penari itu. Seakan di bawa dalam hal magis. Terkelebat bayangan Soe yang terjaga. Hari ini! Saya merasa di siksa. Saya di tarik-tarik oleh hawa semilir bau hujan di akhir mei. Mata ini lelah dalam kungkungan kalimat atau bahkan muak.

Tepat pukul 17.00 arloji di pergelangan tangan. Terlintas jelas seakan sore ini tidak bisa sedikitpun bisa berlari dari kelebatan Soe. Matanya yang begitu sayu. Kunang-kunang hanya berkelip. Tapi matanya adalah bius, lebih dari opium yang memabukkan.

Penari kecil yang menari begitu megah di antara buni rintihan rel kereta yang mendecit. “Biar” Tiba-tiba tersentak. Penumpang lain pun merasa terganggu dan denagn lemah terpaksa harus megatakan kata maaf atas ketidak nyamanan yang saya buat. Tampak seorang ibu dengan bayi di gendongannya. “Harus mengalah”dalam hati. Ibu itu adalah penumpang yag naik dari setasiun dengan penari kecil. “Bu, silakan,” sambil berdiri. “Makasih nak,” ucapnya.

Kamu sedang mengerjakan apa Soe? Langsung saja HP dalam saku celana kiri sudah berpindah ke tangan kiri ini. Langsungn saja tangan ini seolah sudah tahu harus bagaimana. Dengan lancar tulisan muncul. Dan berbunyi. “lg ngaps neeh ”. Saya langsung mengirim menuju nomornya.

Pulauku

~untuk


Dik, kusebut cahayamu lentera hijau juga pipit di pantai kemarau.

Sebab sajak ini meringis(menjengukmu) dik

Dan aku bamboo yang menua. Sendiri, tak berpeluk apalagi berdendang mesra.

kemarilah